LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. PENDAHULUAN
Studi tentang manajemen kurikulum dewasa
ini semakin mendapat
perhatian dari kalangan ilmuwan yang menekuni bidang pengembangan kurikulum.
Studi ini dianggap sebagai bagian terpenting dalam studi pengembangan
kurikulum. Hal ini wajar, sebab kurikulum adalah komponen yang penting serta
sebagai alt pendidikan yang sangat vital dalam kerangka sistem pendidikan
nasional. Itu sebabnya, setiap institusi pendididkan, baik formal maupun
nonformal, harus memiliki kurikulum yang sesuai dan serasi, tepat dengan
kedudukan, fungsi dan peranan serta tujuan lembaga tersebut.
Kurikulum dapat dipandang sebagai
suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan.
Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke
lingkungan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya sekedar
pembelajaran, tetapi lebih dari itu memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan
serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut
di masyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal
maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan dalam
masyarakat pula.
Kehidupan masyarakat, dengan segala
karakteristik dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi
kurikulum atau lebih kompleksnya lagi bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak
mengharapkan muncul manusia-manusia yang asing terhadap
masyarakat-masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan
mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan
harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan, dan perkembangan
masyarakat tersebut.
Pengembangan kurikulum, agar dapat
berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka diperlukan adanya
landasan-landasan pengembangan kurikulum yang akan menjadi pondasi bagi
penyusunan sebuah kurikulum.
Didalam mengenal kurikulum kita harus
mengetahui terlebih dahulu landasan-landasan kurikulum, diantaranya landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan landasan teknologis.
Maka dari itu didalam pembahasan makalah ini kami membahas tentang
landasan-landasan kurikulum tersebut.
a. Bagaimanakah definisi kurikulum berdasarkan penjelasan para ahli?
b. Bagaimanakah
landasan pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam ?
c.
Bagaimanakah landasan kurikulum jika ditinjau dari segi filosofis, psikologis, sosiologis, dan teknologis?
a. Untuk
mengetahui definisi kurikulum berdasarkan penjelasan para ahli.
b. Untuk
mengetahui manfaat dari mempelajari kurikulum.
d. Untuk
mengetahui lebih lanjut landasan kurikulum ditinjau dari segi filosofis,
psikologis, sosiologis, dan teknologis.
Menurut Soedijarto,
kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan dan
diorganisir untuk diatasi oleh para siswa atau para mahasiswa untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga pendidikan[1]
Menurut
Geane, Topter dan Alicia bahwa pengembangan Kurikulum adalah suatu proses dimana
partisipasi pada berbagai tingkatan dalam membuat keputusan tentang tujuan
direalisasikan melalui proses belajar mengajar dan apakah tujuan dan alat itu
serasi dan efektif[2]
Tiler
mendefinisikan kurikulum adalah “All of learning of students which is plannedby and directed by the school to attain its education goal” dapat
disimpulkan dan dilaksanakan oleh sekolah untuk mencapai sejumlah tujuan
pendidikan[3]
Al-Khauly (1981) menjelaskan bahwa kurikulum sebagai
perangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003
dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Oliva (1988), mendefinisikan kurikulum sebagai rencana
atau program yang menyangkut semua pengalaman yang dihayati peserta didik di
bawah pengarahan sekolah atau perguruan tinggi.
Definisi yang dikemukakan oleh Kemp, Morrison dan
Ross (1994) menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan-keterampiulan
yang termuat dalam suatu program pendidikan.
Jika ketiga pihak tersebut ditelusuri dari segi landasan
filosofisnya, maka konsep pengembangan kurikulum dari pihak pertama penganut
aliran perennialisme danessensialiisme. Pihak
kedua termasuk dalam progressivisme dan eksistensialisme. Sedangkan
pihak ketiga termasuk dalam rekontruksi social (Muhaimin,
2003) [4]
2.
Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum adalah ( Curriculum development/Curriculum design) sebagai tahap
lanjutan dari pembinaan , yakni kegiatan yang mengacu untuk menghasilkan
sesuatu kurikulum baru[5]
Pengembangan Kurikulum adalah istilah
yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan,
penerapan dan evaluasi.
a) Perencanaan
Kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum
membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang
akan di gunakan oleh guru dan peserta didik
b) Penerapan Kurikulum
atau biasa disebut implementasi kurikulumberusaha mentransfer perencanaan
kurikulum ke dalam tindakan operasional.
c) Evaluasi
Kurikulum merupakan tahap akhir pengembangan kurikulum untuk menentukan
seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program
yang telah di rencanakan , dan hasil-hasil kurikulum, tidak hanya melibatkan
orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja namun di
dalamnya melibatkan banyak orang.[6]
3. Tujuan Pengembangan Kurikulum
Sebagaimana dirumuskan dalam (GBPP PAI SMU 1994) tujuan
pendidikan agama Islam pada sekolah menengah umum adalah untuk mengikuti
keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia Islam yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara
serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[7]
4.
Landasan-Landasan Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam
Pada dasarnya Landasan
normative Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut Al-Taumy
Al-Syaibany landasan kurikulum
pendidikan Islam dikelompokan sebagai berikut:
a. Dasar /Landasan Agama
(Normatif)
Kurikulum
diharapkan dapat mendorong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap
ajaran agama, berakhlak muliadan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di
dunia dan akhirat.
b. Dasar/ Landasan
Filosofis.
Pendidikan
Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntutan Nabi Saw seta warisan para
ulama.
c. Dasar Landasan Psikologis
.
Kurikulum
tersebut harus sejalan dengan cirri perkembangan siswa, tahab kematangan dan semua
segi perkembangannya.
d. Dasar Landasan Sosial.
Kurikulum
diharapkan turut serta dalam proses
kemasyarakatan terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya,
pengetahuan dan kemahiran mereka dalam membina umat dan bangsanya.[8]
e. Dasar Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.
Kurikulum
diharapkan senantiasa sejalan dengan perkembangan IPTEK , kerena ajaran
pendidikan Islam mensyaratkan umat manusia untuk senantiasa mencari, menggali,
meneliti dan menemukan bukti-bukti ilmiah dari kebenaran normative berdasarkan
perkembangan ilmu dan pengetahuan yang
ada.[9]
5. Pendekatan Pengembangan Kurikulum PAI
Pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode
yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar
memperoleh kurikulum yang lebih baik[10]
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
seseorang terhadap suatu proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada
pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.
Dengan demikian, pendekatan pengembangan kurikulum menunjuk pada titik tolak
atau sudut pandang secara umum tentang proses pengembangan kurikulum[11]
Di dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat empat
pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu: pendekatan
subjek akademis; pendekatan humanistis; pendekatan teknologis; dan pendekatan
rekontruksi sosial[12]
Ditinjau dari tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam
sebagaimana uraian sebelumnya, maka tipologi perennial-esensialis salafi
dan perennial-esensialis mazhabi lebih cenderung kepada pendekatan
subjek akademis dan dalam beberapa hal juga pendekatan teknologis. Demikian
pula, tipologi perennial-esensialis kontektual falsitikatif juga cenderung
menggunakan pendekaran subjek akademis dan dalam beberapa hal lebih
berorientasi pada pendekatan teknologis dan pendekatan humanistis. Tipologi
modernis lebih berorientasi pada pendekatan humanistis. Sedangkan tipologi
rekonstruksi sosial lebih berorientasi pada pendekatan rekonstruksi sosial[13]
Berikut adalah bentuk dari berbagai pendekatan pengembangan
kurikulum PAI, antara lain:
Kurikulum disajikan dalam
bagian-bagian ilmu pengetahuan, mata pelajaran yang di intregasikan. Ciri-ciri
ini berhubungan dengan maksud, metode, organisasi dan evaluasi. Pendekatan
subjek akademis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan
pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. Para ahli akademis terus mencoba
mengembangkan sebuah kurikulum yang akan melengkapi peserta didik untuk masuk
ke dunia pengetahuan, dengan konsep dasar dan metode untuk mengamati,
hubungan antara sesama, analisis data, dan penarikan kesimpulan. Pengembangan
kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata
pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan
untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu[14]
Pendidikan agama Islam di sekolah
meliputi aspek Al-quran/Hadist, keimanan, akhlak, ibadah/muamalah, dan tarih/
sejarah umat Islam. Di madrasah, aspek-aspek tersebut dijadikan sub-sub mata
pelajaran PAI meliputi : Al-quran Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan sejarah.
Kelemahan pendekatan ini adalah kegagalan dalam memberikan perhatian kepada
yang lainnya, dan melihat bagaimana isi dan disiplin dapat membawa mereka pada
permasalahan kehidupan modern yang kompleks, yang tidak dapat dijawab oleh
hanya satu ilmu saja[15]
2. Pendekatan Humanistis
Pendekatan Humanistis dalam
pengembangan kurikulum bertolak dari ide "memanusiakan manusia".
Penciptaan konteks yang akan memberi peluang manusia untuk menjadi lebih human,
untuk memprtinggi harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar
evaluasi dan dasar pengembangan program pendidikan[16]
Kurikulum Humanistis dikembangkan
oleh para ahli pendidikan Humanistis. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran
pendidikan pribadi yaitu John Dewey. Aliran ini lebih memberikan tempat utama
kepada siswa. Kurikulum Humanistis ini, guru diharapkan dapat membangun
hubungan emosional yang baik dengan peserta didiknya. Oleh karena itu, peran
guru yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a)
Mendengar pandangan realitas
peserta didik secara komprehensif.
b)
Menghormati individu peserta didik.
Dalam pendekatan Humanistis ini,
peserta didik diajar untuk membedakan hasil berdasarkan maknanya. Kurikulum ini
melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta dimasa depan. Sesuai
dengan prinsip yang dianut, kurikulum ini menekankan integritas, yaitu kesatuan
perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan
tindakan.
Beberapa acuan dalam kurikulum ini
antara lain:[18]
a)
Integrasi semua domain afeksi
peserta didik, yaitu emosi, sikap, nilai-nilai, dan domain kognisi, yaitu
kemampuan dan pengetahuan.
b)
Kesadaran dan kepentingan.
c)
Respon terhadap ukuran tertentu,
seperti kedalaman suatu keterampilan.
Kurikulum Humanistis memiliki
kelemahan, antara lain:
a)
Keterlibatan emosional tidak
selamanya berdampak positif bagi perkembangan individual peserta didik.
b)
Meskipun kurikulum ini sangat
menekankan individu tapi kenyataannya terdapat keseragaman peserta didik.
c)
Kurikulum ini kurang memperhatikan
kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Pendekatan teknologi dalam menyusun
kurikulum agama islam bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi
sukses, dan strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job
analysis) tersebut. Kurikulum berbasis kompetensi yang sedang digalakkan
disekolah/ madrasah termasuk dalam kategori pendekatan teknologis[20]
Dalam pengembangan kurikulum PAI,
pendekatan tersebut hanya bisa digunakan untuk pembelajaran PAI yang menekankan
pada know how cara menjalankan tugas-tugas tertentu.
Misalnya cara menjalankan shalat, haji, puasa, zakat, mengkafani mayat, shalat
jenazah dan seterusnya. Pembelajaran dikatakan menggunakan pendekatan
teknologis, bilamana ia menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis
masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan dan menilainya, Di
samping itu, pendekatan teknologis ingin mengejar kemanfaatan tertentu,
sehingga proses dan rencana produknya (hasilnya) diprogram sedemikian rupa,
agar pencapaian hasil pembelajaranya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan
jelas dan terkontrol. Dari rencana proses pembelajaran sampai mencapai hasil
tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien[21]
Pendekatan teknologis ini sudah
barang tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain: ia terbatas pada hal-hal
yang bisa dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun
produknya. Karena adanya keterbatasan tersebut, maka dalam pembelajaran
pendidikan agama islam tidak selamanya dapat menggunakan pendekatan teknologis.
Jika dalam sebuah pembelajaran PAI menyangkut perencanaan dan proses bisa
dengan pendekatan teknologis akan tetapi ketika harus mengevaluasi tentang
keimanan peserta didik atas materi rukun iman misalnya, maka pendekatan
teknologis tidak bisa digunakan, karena evaluasi ini sulit untuk diukur[22]
Berikut contoh pendekatan
teknologis dalam pengembangan kurikulum PAI. Sebagaiman tertuang dalam
kurikulum:[23]
a)
Standar kompetensi: Mampu
mempraktikkan wudlu dan mengenal shalat fardhu.
b)
Kompetensi dasar: Melaksanakan
wudlu.
c)
Hasil belajar:
1)
Mampu menjelaskan tatacara wudlu.
2)
Mampu menghafal niat wudlu.
3)
Mampu menyebutkan sunah-sunah
wudlu.
4)
Mampu mempraktikan wudlu.
Kurikulum ini sangat memperhatikan
hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik perkembangan ekonomi.
Kurikulum ini bertujuan untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai
permasalahan manusia dan kemanusian. Permasalahan yang muncul tidak harus
pengetahuan sosial saja, tetapi di setiap disiplin ilmu termasuk ekonomi,
kimia, matematika dan lain-lain. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan
kegiatan bersama. Melalui interaksi ini siswa berusaha memecahkan
problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan
masyrakat yang lebih baik[24]
Kegiatan yang dilakukan dalam
kurikulum rekonstruksi sosial antara lain melibatkan:
a)
Survey kritis terhadap suatu
masyarakat.
b)
Studi yang melihat hubungan antara
ekonomi lokal dengan ekonomi nasional atau internasional.
c)
Study pengaruh sejarah dan
kecenderungan situasi ekonomi lokal.
d)
Uji coba kaitan praktek politik
dengan perekonomian.
e)
Berbagai pertimbangan perubahan
politik.
Pembelajaran yang dilakukan dalam
kurikulum rekonstruksi sosial harus memenuhi 3 kriteria berikut, yaitu: nyata,
membutuhkan tindakan dan harus mengajarkan nilai. Evaluasi dalam kurikulum
rekontruksi sosial mencakup spektrum luas, yaitu kemampuan peserta didik dalam
menyampaikan permasalahan, kemungkinan pemecahan masalah, pendefinisian kembali
pandangan mereka dan kemauan mengambil tindakan[26]
Dr. Abdullah Idi, M.Ed dalam
bukunya Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktik, menambahkan 3 (tiga) pendekatan pengembangan kurikulum,
yaitu:[27]
Pendekatan ini menempatkan rumusan
atau penempatan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan
adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Kelebihan pendekatan pengembangan
kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah:
1)
Tujuan yang ingin dicapai jelas
bagi penyusun kurikulum.
2)
Tujuan yang jelas akan memberikan
arah yang jelas pula dalam menetapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan
dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.
3)
Tujuan-tujuan yang jelas itu juga
akan memberikan arah dalam mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai.
4)
Hasil penelitian yang terarah itu
akan membantu penyusun kurikulum di dalam mengadakan perbaikan-perbaikan yang
diperlukan[28]
Pendekatan ini dapat dilihat dari pola pendekatan:
1) Pendekatan pola Subject Matter Curriculum
Pendekatan ini penekanannya pada
berbagai matapelajaran secara terpisah-pisah, misalnya: sejarah, ilmu bumi,
biologi, matematika dan sebagainya. Matapelajaran ini tidak berhubungan satu
sama lain.
2) Pendekatan
pola Correlated Curriculum
Pendekatan ini adalah pendekatan dengan pola mengelompokkan
beberapa matapelajaran (bahan) yang sering dan bisa secara dekat berhubungan. Misalnya,
bidang studi IPA, IPS dan sebagainya.
Pendekatan ini dapat ditinjau dari berbagai aspek (segi), yaitu:
a)
Pendekatan Struktur
Contoh: IPS, terdiri atas Sejarah,
Ekonomi, Sosiologi.
b)
Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini berdasarkan pada
masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
c)
Pendekatan tempat atau daerah
Atas dasar pembicaraan suatu tempat
tertentu sebagai pokok pembicaraan[29]
3) Pendekatan pola Integrated
Curriculum
Pendekatan ini berdasarkan kepada keseluruhan hal yang mempunyai
arti tertentu, Misalnya: pohon; sebatang pohon ini bukan merupakan sejumlah
bagian-bagian pohon yang terkumpul, akan tetapi merupakan sesuatu yang memiliki
arti tertentu yang utuh, yaitu pohon[30]
Accountability atau pertanggungjawaban lembaga pendidikan tentang pelaksanaan
tugasnya kepada masyarakat akhir-akhir ini menjadi hal yang penting dalam dunia
pendidikan. Akuntabilitas yang sistematis pertama kali diperkenalkan Frederick
Tylor dalam bidang industri pada permulaan abad ini. Pendekatannya yang dikenal
sebagai scientific management atau manajemen ilmiah, menetapkan
tugas-tugas spesifik yang harus diselesaikan pekerja dalam waktu tertentu. Tiap
pekerja bertanggung jawab atas penyelesaian tugas itu[31]
Menurut Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd., ada dua pendekatan yang
bisa diterapkan dalam pengembangan kurikulum, yaitu:[32]
Dikatakan pendekatan top
down atau pendekatan
administratif, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah. Oleh
karena dimulai dari atas itulah, pendekatan ini juga dinamakan line staff mode.Dilihat dari
cakupan pengembangannya, pendekatan top down bisa dilakukan baik untuk menyusun
kurikulum yang benar-benar baru (curriculum construction) ataupun untuk
penyempurnaan kurikulum yang sudah ada (curriculum improvement). Prosedur kerja
atau proses pengembangan kurikulum model ini dilakukan kira-kira sebagai
berikut:Langkah pertama, dimulai dengan pembentukan tim pengarah oleh
pejabat pendidikan. Langkah
kedua, adalah menyusun tim atau kelompok kerja untuk menjabarkan kebujakan
atau rumusan-rumusan yang telah disusun oleh tim pengarah. Langkah Ketiga, apabila
kurikulum sudah selesai disusun oleh tim atau kelompok kerja, selanjutnya
hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan-catatan
atau direvisi. Langkah Keempat,
para administrator selanjutnya memerintahkan kepada setiap sekolah untuk
mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu[33]
Dalam model grass roots atau pengembangan kurikulum yang diawali
oleh inisiatif dari bawah lalu disebartluaskan pada tingkat atau skala yang
lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan pendekatan ini
lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement),
walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan
kurikulum baru (curriculum construction)[34]
Ada beberapa langkah penyempurnaan
kurikulum yang dapat dilakukan manakala menggunakan pendekatan grass roots ini. Pertama, menyadari adanya
masalah. Berawal dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Kedua, mengadakan refleksi.
Refleksi dilakukan dengan mengkaji literature yang relevan misalnya dengan
membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan masalah yang kita
hadapi atau mengkaji sumber informasi lain. Ketiga,
mengajukan hipotesis atau jawaban sementara. Guru memetakan berbagai
kemungkinan munculnya masalah dan cara penanggulangannya. Keempat, menentukan hipotesis
yang sangat mungkin dekat dan dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi
lapangan. Kelima,
mengimplementasikan perencanaan dan mengevaluasinya secara terus-menerus hingga
terpecahkan masalah yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya kita bisa berkolaborasi
atau meminta pendapat teman sejawat. Keenam, membuat dan menyusun laporan hasil
pelaksanaan pengembangan melalui grass roots. Langkah ini sangat penting untuk
dilakukan sebagai bahan publikasi dan diseminasi, sehingga memungkinkan dapat
dimanfaatkan dan diterapkan oleh orang lain yang pada gilirannya hasil
pengembangan dapat tersebar[35]
atau
|
Atau baca Juga MAKALAH PERMASALAHAN PENELITIAN KEPENDIDIKAN ISLAM
[1] Hendyat Soetopo dan Wasty
Soemanto.Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum.(Jakarta: Bumi Akara, 1993)
hlm.14
[2] Subandijah , Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), 36
[3] Nasution, Pengembangan
Kurikulum, PT. Aditya Bakti, Bandung, 1993, 15.
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 5.
[5] Muhammad Zein, Asa dan pengembangan Kurikulum,
Yogyakarta: Sumbangsih Offse, 1991) 26
[6] Syayyid
Syabig, Unsur-Unsur Dinamika Dalam Islam,Intermasa, Jakarta, 1981,
52.
[7] Ibid.52.
[8] Oemar
Muhammad Al-Taumy Al-Saibany,Falsafah pendidikan Islam(terj.Hasan
Langgulung), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399.
[9] Agus
Zaenul Fikri, Menejemen Kurikulum Pendidikan Islam, (Bandung:Alfabeta,2013,
72.
[10] Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik.(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007),200.
[11] Sanjaya, Wina.Kurikulum dan Pembelajaran (Teori dan
Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).(Jakarta:
Kencana, 2010),.77
[12] Noeng, Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan
Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000
dalam Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010,.139
[13] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2010,.139-140.
[14] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, …,140.
[15] Ibid.
[16] Ibid,
142
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19]
Ibid,143
[20]
Ibid,164
[21]
Ibid
[22]
Ibid.
[23]
Ibid, 165
[24] Noeng, Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan
Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000
dalam Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010),180.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Subandijah., Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993) hlm.28 dalam Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik.(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007),.200-201.
[28]
Ibid,202
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Nasution.Pengembangan
Kurikulum.(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993) hlm.50 dalam Abdullah
Idi.Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik.(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007),203
[32] Sanjaya, Wina.Kurikulum
dan Pembelajaran (Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan).(Jakarta: Kencana, 2010),78-81
[33] Sanjaya, Wina.Kurikulum dan
Pembelajaran (Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan).(Jakarta: Kencana, 2010) ,78-81
[34]
Ibid.
[35]
Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar