Penelitian
Tindakan Kelas
(Classroom Action Research)
A. PENGERTIAN
Belakangan ini Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para
profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai
bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah
sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di
masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian
terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan
dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang
telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai
sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap
pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan
dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas
dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas
keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Dalam bidang pendidikan,
khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian
terapan. PTK sangat bermanfaat bagi
guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan
melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang
timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai
ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu
sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar
di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu
penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di
lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan
peneliti.
Classroom
action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di
dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian
“riset-tindakan-riset-tindakan- …”, yang dilakukan secara siklik, dalam rangka
memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di
antaranya adalah individual action research dan collaborative action research
(CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan
collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.
Action research termasuk penelitian kualitatif
walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Action research
berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan
membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan
untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk
digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh
orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti.
Perbedaan antara penelitian formal dengan classroom
action research disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara Penelitian Formal
dengan Classroom Action Research
Penelitian Formal
|
Classroom Action Research
|
Dilakukan oleh orang lain
|
Dilakukan oleh guru/dosen
|
Sampel harus representatif
|
Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
|
Instrumen harus valid dan reliabel
|
Instrumen yang valid dan reliabel tidak
diperhatikan
|
Menuntut penggunaan analisis statistik
|
Tidak
diperlukan analisis statistik yang rumit
|
Mempersyaratkan hipotesis
|
Tidak selalu menggunakan hipotesis
|
Mengembangkan teori
|
Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung
|
B.
Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?
Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk
meningkatkan profesional seorang guru :
1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru
menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi
reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
2. PTK dapat meningkatkan kinerja guru
sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang
sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada
upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
3. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam
PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam
terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang
dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang
berkembang di kelasnya.
4. Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas
pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan
suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
5. Dengan melaksanakan PTK guru menjadi
kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai
implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan
ajar yang dipakainya.
6. Penerapan PTK dalam pendidikan dan
pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas
praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil
instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi;
meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya
meneliti pada komunitas guru.
C.
Hakikat Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli
psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan
Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen
Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.
PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya,
sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih
sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot
keilmiahannya.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan
organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya.
Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro
ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu
berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan
tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan
dikemukan mengenai hakikat PTK.
Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang
situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya
(Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi
diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan
oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk
refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi
sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan
terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart,
1988).
Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro,
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi
diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah)
dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki
rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang
dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan
(c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut
dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan
untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru
untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik
tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK
mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran
kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan
perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan
berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan
bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK
adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi
atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang
guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari
peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan
kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan
hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk
menjadi dewasa.
Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai
peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya.
Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis,
realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan
kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya.
Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan
bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi
tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK
ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap
berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti,
sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di
dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi
pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan
oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada
lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.
Jenis dan Model PTK
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki
karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis
penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei,
analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain
PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK
dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis
digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan
sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan
perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi
terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari
karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1)
didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya
kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang
melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas
praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa
siklus.
Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik
reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan
jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih
jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.
1. Kritik Refeksi; salah satu langkah di
dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya
refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya
saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi
atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga
dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
2. Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik
dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena
yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan
terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit
walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal,
-maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan
mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut
bersifat stabil.
3. Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan
hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau
kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan
sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya
kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari
suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia
juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja
sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang
menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini
ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator.
Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam
upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti
akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan
untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan
sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh
berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang
memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang
dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan
bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan
sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya
penelitian.
4. Resiko; dengan adanya ciri resiko
diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada
waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a)
melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu
transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi
peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan
sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya
menyebabkan pandangannya berubah.
5. Susunan Jamak; pada umumnya penelitian
kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara
tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas
penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif.
Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus
mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh,
seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar,
situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan
pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan
sebagainya.
6. Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut
pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua
dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda,
yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi.
Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang
beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan
teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat
digunakan dan dikembangkan bersama.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda
dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan
paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan
bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya
khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf
keilmiahannya.
D. MODEL - MODEL ACTION RESEARCH
Model Kurt
Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari berbagai model action research,
terutama classroom action research. Dialah orang pertama yang memperkenalkan
action research. Konsep pokok action research menurut Kurt Lewin terdiri dari
empat komponen, yaitu : (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3)
pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Hubungan keempat
komponen itu dipandang sebagai satu siklus.
Model
Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang
diperkenalkan Kurt lewin seperti yang diuraikan di atas, hanya saja komponen
acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan
yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama
E. MASALAH CAR
Berikut
ini merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada saat menentukan masalah
CAR.
1.
Banyaknya Masalah yang Dihadapi Guru
Setiap
hari guru mengahadapi banyak masalah, seakan-akan masalah itu tidak ada
putus-putusnya. Oleh karena itu guru yang tidak dapat menemukan masalah untuk
CAR sungguh ironis. Merenunglah barang sejenak, atau ngobrollah dengan teman
sejawat, Anda akan segera menemukan kembali seribu satu masalah yang telah
merepotkan Anda selama ini.
2. Tiga
Kelompok Masalah Pembelajaran
Masalah
pembelajaran dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu (a) pengorganisasian
materi pelajaran, (b) penyampaian materi pelajaran, dan (c) pengelolaan kelas.
Jika Anda berfikir bahwa pembahasan suatu topik dari segi sejarah dan geografi
secara bersama-sama akan lebih bermakna bagi siswa daripada pembahasan secara
sendiri-sendiri, Anda sedang berhadapan dengan masalah pengorganisasian materi.
Jika Anda suka dengan masalah metode dan media, sebenarnya Anda sedang
berhadapan dengan masalah penyampaian materi. Apabila Anda menginginkan kerja
kelompok antar siswa berjalan dengan lebih efektif, Anda berhadapan dengan
masalah pengelolaan kelas. Jangan
terikat pada satu kategori saja; kategori lain mungkin mempunyai masalah yang
lebih penting.
3. Masalah
yang Berada di Bawah Kendali Guru
Jika Anda
yakin bahwa ketiadaan buku yang menyebabkan siswa sukar membaca kembali materi
pelajaran dan mengerjakan PR di rumah, Anda tidak perlu melakukan CAR untuk
meningkatkan kebiasaan belajar siswa di rumah. Dengan dibelikan buku masalah itu akan
terpecahkan, dan itu di luar kemampuan Anda. Dengan perkataan lain yakinkan
bahwa masalah yang akan Anda pecahkan cukup layak (feasible), berada di dalam
wilayah pembelajaran, yang Anda kuasai. Contoh lain masalah yang berada di luar
kemampuan Anda adalah: Kebisingan kelas karena sekolah berada di dekat jalan
raya.
4. Masalah
yang Terlalu Besar
Nilai UAN
yang tetap rendah dari tahun ke tahun merupakan masalah yang terlalu besar untuk
dipercahkan melalui CAR, apalagi untuk CAR individual yang cakupannya hanya
kelas. Faktor yang mempengaruhi Nilai UAN sangat kompleks mencakup seluruh
sistem pendidikan. Pilihlah masalah yang sekiranya mampu untuk Anda pecahkan.
5. Masalah
yang Terlalu Kecil
Masalah
yang terlalu kecil baik dari segi pengaruhnya terhadap pembelajaran secara
keseluruhan maupun jumlah siswa yang terlibat sebaiknya dipertimbangkan
kembali, terutama jika penelitian itu dibiayai oleh pihak lain. Sangat
lambatnya dua orang siswa dalam mengikuti pelajaran Anda misalnya, termasuk
masalah kecil karena hanya menyangkut dua orang siswa; sementara masih banyak
masalah lain yang menyangkut kepentingan sebagian besar siswa.
6. Masalah
yang Cukup Besar dan Strategis
Kesulitan
siswa memahami bacaan secara cepat merupakan contoh dari masalah yang cukup
besar dan strategis karena diperlukan bagi sebagian besar mata pelajaran. Semua
siswa memerlukan keterampilan itu, dan dampaknya terhadap proses belajar siswa
cukup besar. Sukarnya siswa berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan
ketidaktahuan siswa tentang meta belajar (belajar bagaimana belajar) merupakan
contoh lain dari masalah yang cukup besar dan strategis. Dengan demikian
pemecahan masalah akan memberi manfaat yang besar dan jelas.
7. Masalah
yang Anda Senangi
Akhirnya
Anda harus merasa memiliki dan senang terhadap masalah yang Anda teliti. Hal
itu diindikasikan dengan rasa penasaran Anda terhadap masalah itu dan keinginan
Anda untuk segera tahu hasil-hasil setiap perlakukan yang diberikan.
8. Masalah
yang Riil dan Problematik
Jangan
mencari-cari masalah hanya karena Anda ingin mempunyai masalah yang berbeda
dengan orang lain. Pilihlah masalah yang riil, ada dalam pekerjaan Anda
sehari-hari dan memang problematik (memerlukan pemecahan, dan jika ditunda
dampak negatifnya cukup besar).
9.
Perlunya Kolaborasi
Tidak ada
yang lebih menakutkan daripada kesendirian. Dalam collaborative action reseach
Anda perlu bertukar fikiran dengan guru mitra dari mata pelajaran sejenis atau
guru lain yang lebih senior dalam menentukan masalah.
F. IDENTIFIKASI, PEMILIHAN, DESKRIPSI, DAN RUMUSAN
MASALAH
1.
Identifikasi Masalah
Dalam
mengidentifikasikan masalah, Anda sebaiknya menuliskan semua masalah yang Anda
rasakan selama ini.
2.
Pemilihan Masalah
Anda tidak
mungkin memecahkan semua masalah yang teridentifikasikan itu secara sekaligus,
dalam suatu action research yang berskala kelas. Masalah-masalah itu berbeda
satu sama lain dalam hal kepentingan atau nilai strategisnya. Masalah yang satu
boleh jadi merupakan penyebab dari masalah yang lain sehingga pemecahan
terhadap yang satu akan berdampak pada yang lain; dua-duanya akan terpecahkan
sekaligus. Untuk dapat memilih masalah secara tepat Anda perlu menyusun
masalah-masalah itu berdasarkan kriteria tersebut: tingkat kepentingan, nilai
strategis, dan nilai prerekuisit. Akhirnya Anda pilih salah satu dari
masalah-masalah tersebut, misalnya “Siswa tidak dapat melihat hubungan antara
mata pelajaran yang satu dengan yang lain.”
3.
Deskripsi Masalah
Setelah
Anda memilih salah satu masalah, deskripsikan masalah itu serinci mungkin untuk
memberi gambaran tentang pentingnya masalah itu untuk dipecahkan ditinjau dari
pengaruhnya terhadap pembelajaran secara umum maupun jumlah siswa yang
terlibat.
Contoh:
“Jika diberi pelajaran dengan pendekatan terpadu antara geografi, ekonomi, dan
sejarah siswa merasa sukar mentransfer keterampilan dari satu pelajaran ke
pelajaran lain. Pelajaran
yang saya berikan adalah geografi, tetapi saya sering mengaitkan pembahasan
dengan mata pelajaran lain seperti ekonomi dan sejarah. Ketika saya minta siswa
mengemukakan hipotesis tentang pengaruh Danau Toba terhadap perkembangan
ekonomi daerah, siswa terasa sangat bingung; padahal mereka telah dapat
mengemukakan hipotesis dengan baik dalam mata pelajaran geografi. Saya khawatir
siswa hanya menghafal pada saat dilatih mengemukakan hipotesis. Padahal dalam
kehidupan sehari-hari keterampilan berhipotesis harus dapat diterapkan di mana
saja dan dalam bidang studi apa saja. Pada hakikatnya setiap hari kita
mengemukakan hipotesis. Ketidakbisaan siswa itu terjadi sepanjang tahun, tidak
hanya pada permulaan tahun ajaran. Kelihatannya semua siswa mengalami hal yang
sama, termasuk siswa yang cerdas. Guru lain ternyata juga mengalami hal yang
sama, siswanya sukar mentransfer suatu keterampilan ke mata pelajaran lain.”
4. Rumusan
Masalah
Setelah
Anda memilih satu masalah secara seksama, selanjutnya Anda perlu merumuskan
masalah itu secara komprehensif dan jelas. Sagor (1992) merinci rumusan masalah
action research menggunakan lima pertanyaan:
1. Siapa yang terkena dampak negatifnya?
2. Siapa atau apa yang diperkirakan sebagai
penyebab masalah itu?
3. Masalah apa sebenarnya itu?
4. Siapa yang menjadi tujuan perbaikan?
5. Apa yang akan dilakukan untuk mengatasi
hal itu? (tidak wajib, merupakan hipotesis tindakan).
Contoh
rumusan masalah:
·
Siswa
di SLTP-X tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan
yang lain di sekolah (Ini menjawab pertanyaan 1 dan 3)
·
Grup
action research percaya bahwa hal ini merupakan hasil dari jadwal mata
pelajaran dan cara guru mengajarkan materi tersebut (Ini menjawab pertanyaan 2)
·
Kita
menginginkan para siswa melihat relevansi kurikulum sekolah, mengapresiasi
hubungan antara disiplin-disiplin akademis, dan dapat menerapkan keterampilan
yang diperoleh dalam satu mata pelajaran untuk pemecahan masalah dalam mata
pelajaran lain (Ini menjawab pertanyaan 4)
·
Oleh
karena itu kita merencanakan integrasi pembelajaran IPA, matematika, bahasa,
dan IPS dalam satuan pelajaran interdisiplin berjudul Masyarakat dan Teknologi
(Ini manjawab pertanyaan 5)
Contoh
pertanyaan penelitian:
1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam
mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain?
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan
lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai?
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu
mata pelajaran?
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi
belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin
dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal?
G. KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
1. Kajian
Teori
Dalam
membuat rumusan masalah di atas sebenarnya Anda telah melakukan “analisis
penyebab masalah” sekaligus membuat “hipotesis tindakan” yang akan diberikan untuk
memecahkan masalah tersebut. Untuk melakukan analisis secara tajam dan menjustifikasi perlakuan yang
akan diberikan, Anda perlu merujuk pada teori-teori yang sudah ada. Tujuannya
sekedar meyakinkan bahwa apa yang Anda lakukan dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional. Dalam hal ini proses kolaborasi memegang peranan yang
sangat penting.
Anda juga
perlu membaca hasil penelitian terakhir, termasuk CAR, siapa tahu apa yang akan
Anda lakukan sudah pernah dilakukan oleh orang lain; Anda dapat mengambil
manfaat dari pengalaman orang itu. Manfaat lain yang lebih penting, Anda akan
mengetahui trend-trend baru yang sedang diperhatikan atau diteliti oleh para
guru di seluruh dunia. Sekarang ini sedang nge-trend pembelajaran yang
bernuansa quantum teaching, quantum learning, contextual learning, integrated
curriculum, dan competency based curriculum yang semua berorientasi pada
kepentingan siswa. Jika penelitian Anda masih berkutat pada pemberian drill dan
PR agar nilai UAN mereka meningkat, tanpa memperdulikan rasa ketersiksaan
siswa, profesionalisme Anda akan dipertanyakan.
2.
Hipotesis Tindakan
Lakukanlah
analisis penyebab masalah secara seksama agar tindakan yang Anda rencanakan
berjalan dengan efektif. Hipotesis tindakan dapat Anda tuliskan secara eksplisit,
tetapi dapat juga tidak karena pada dasarnya Anda belum tahu tindakan mana yang
akan berdampak paling efektif.
H. METODOLOGI
1. Setting
Penelitian
Setting
penelitian perlu Anda uraikan secara rinci karena penting artinya bagi guru
lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Mereka tentu akan mempertimbangkan
masak-masak apakah ada kemiripan antara setting sekolahnya dengan setting
penelitian Anda.
2.
Perbedaan Mengajar Biasa dengan CAR
Dalam
melakukan CAR kegiatan mengajar standar (biasa) berlangsung secara alami;
tetapi ada bagian-bagian tertentu yang diberi perlakuan secara khusus dan
diamati dampaknya secara seksama. Langkah-langkah seperti pembuatan satuan
pelajaran, rencana pelajaran, lembaran kerja, dan alat bantu pembelajaran
lainnya adalah langkah pembelajaran standar, bukan CAR. Asumsinya CAR
dilaksanakan oleh guru yang sudah melaksanakan pembelajaran standar secara
lengkap tetapi belum berhasil. Ia akan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari
pembelajaran standar itu. Bagian yang dimodifikasi itulah fokus dari CAR Anda.
3. Tahap
Perencanaan
Tahap
perencanaan CAR sebaiknya hanya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan CAR.
Jika ada perubahan pada satuan pelajaran misalnya, hanya bagian yang diubah
saja yang perlu diuraikan secara rinci. Akan lebih baik jika perubahan itu
diletakkan dalam konteks satuan pelajaran aslinya sehingga terlihat jelas besar
perubahan yang dilakukan. Perangkat-perangkat pembelajaran juga hanya
tambahannya yang diuraikan secara rinci. Jika pembelajaran standar telah
dilaksanakan dengan baik perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk CAR
dengan sendirinya sebagian besar sudah tersedia.
Yang
sering terjadi dalam CAR selama ini pembelajaran standar belum dilaksanakan
sehingga CAR menjadi wahana untuk mewujudkan pembelajaran standar. Hal itu
terlihat dari latar belakang yang diuraikan secara emosional oleh peneliti,
umumnya menggambarkan pembelajaran yang sangat tradisional, buruk, dan di bawah
standar. Setelah sekolah mendapat bantuan dana peningkatan kualitas pembelajaran
pun uraian latar belakang itu tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti.
Secara tidak langsung ditunjukkan bahwa perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh
pemberi dana selama ini berlalu tanpa bekas.
Tahap
perencanaan bisa memerlukan waktu setengah bulan karena harus mempersiapkan
segala sesuatu yang diperlukan, termasuk di dalamnya adalah penyusunan jadwal,
pembuatan instrumen, dan pemilihan kolaborator.
4.
Siklus-siklus
Dalam CAR
siklus merupakan ciri khas yang membedakannya dari penelitian jenis lain; oleh
karena itu siklus harus dilaksanakan secara benar. Siklus pada hakikatnya
adalah rangkaian “riset-aksi-riset-aksi- …” yang tidak ada dalam penelitian
biasa. Dalam penelitian biasa
hanya terdapat satu riset dan satu aksi kemudian disimpulkan. Dalam CAR hasil
yang belum baik masih ada kesempatan untuk diperbaiki lagi sampai berhasil.
Siklus
terdiri dari (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4)
refleksi; dan (5) perencanaan kembali. Yang diuraikan dalam siklus hanya bagian
yang dimodifikasi melalui action reseach, bukan seluruh proses pembelajaran.
Modifikasi atau perubahan secara total jarang dilakukan dalam action research
yang berskala kelas karena bagaimanapun sistem pendidikan secara umum masih
belum berubah.
Misalnya
Anda akan memodifikasi pembelajaran dengan memperbanyak penggunaan carta. Dalam
“perencanaan” yang Anda uraikan adalah tentang carta itu saja, misalnya “Tiap
pertemuan diusahakan akan ada carta yang digunakan dalam kelas.” Dalam
“pelaksanaan” Anda uraikan kenyataan yang terjadi, apakah benar tiap pertemuan
bisa digunakan carta, misalnya “Penggunaan carta tiap pertemuan hanya dapat
dilakukan selama dua minggu pertama; minggu berikutnya rata-rata hanya satu
carta tiap empat pertemuan.” Anda tentu saja dapat mengelaborasi “pelaksanaan”
itu dengan menyebutkan carta-carta apa saja yang digunakan, saat-saat mana yang
paling tepat untuk penggunaan, siapa yang menggunakan, berapa lama digunakan,
berapa ukurannya, di mana disimpan, dsb., dsb. “Pengamatan” didominasi oleh
data-data hasil pengukuran terhadap respons siswa, menggunakan berbagai
instrumen yang telah disiapkan. “Refleksi” berisi penjelasan Anda tentang
mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan, diakhiri dengan perencanaan
kembali untuk perlakuan pada siklus berikutnya.
Dalam
action reseach selama ini banyak siklus yang bersifat semu, tidak sesuai dengan
kaidah yang sudah baku. Inilah kelemahan-kelemahan yang terjadi.
1. Dalam siklus diuraikan semua proses
pembelajaran, sehingga tidak dapat dilihat bagian yang sebenarnya sedang
diteliti. Seolah-olah seluruh proses pembelajaran diubah secara total melalui
CAR, dan sebelumnya pembelajaran berlangsung secara tradisional, buruk, dan di
bawah standar.
2. Tidak jelas apakah perlakuan dalam suatu
siklus dilakukan secara terus-menerus selama periode tertentu, sampai data
pengamatan bersifat jenuh (menunjukkan pola yang menetap) dan diperoleh dari
berbagai sumber (triangulasi). Sebagai analogi, jika selama satu minggu suhu
badan pasien menunjukkan suhu 37,50 C; 370 C; 370 C; 37,50 C; 37,50 C; 37,50 C;
dapatlah disimpulkan bahwa kondisinya telah kembali normal. Itu digabungkan
dengan data pengamatan lain selama seminggu juga seperti perilaku, nafsu makan,
dan denyut nadi pasien, yang bersifat triangulatif.
3. Siklus dilakukan tidak berdasarkan
refleksi dari siklus sebelumnya. Ada siklus yang dilakukan secara tendensius:
siklus pertama dengan metode ceramah, siklus kedua dengan demonstrasi, dan
siklus ketiga dengan eksperimen, hanya ingin menunjukkan bahwa metode
eksperimen adalah yang terbaik. Peneliti ini lupa bahwa metode harus
disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran. Untuk materi pertama boleh jadi justru metode
ceramah yang lebih cocok.
5.
Instrumen
Instrumen
merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan CAR. Jenis
instrumen harus sesuai dengan karakteristik variabel yang diamati. Triangulasi
dan saturasi (kejenuhan informasi) perlu diperhatikan untuk menjamin validitas
data.
I. HASIL PENELITIAN
1.
Siklus-siklus Penelitian
Hasil
penelitian CAR tidak hanya berisi data hasil observasi, melainkan justru proses
perbaikan yang dilakukan. Untuk itu siklus adalah cara yang tepat untuk
menyajikan hasil penelitian. Data hasil observasi tidak disajikan secara
terpisah melainkan dalam konteks siklus-siklus yang telah dilakukan.
2. Tabel,
Diagram, dan Grafik
Tabel,
diagram, dan grafik sangat baik digunakan untuk menyajikan data hasil
observasi. Gunanya agar refleksi dapat dilakukan lebih mudah. Tetapi sajian
yang cantik itu bisa menjadi blunder manakala angka-angkanya diatur sedemikain
rupa sehingga terkesan artificial. Hasil yang begitu spektakuler seringkali
tidak disertai dengan “bagaimana” proses untuk mencapainya, sehingga pembaca
akan makin ragu.
3.
Hasil-hasil yang Otentik
Hasil-hasil
yang otentik seperti karangan siswa, gambar hasil karya siswa, dan foto tentang
proyek yang dilakukan siswa akan sangat baik dicantumkan sebagai hasil
penelitian.
J. KESIMPULAN CAR
1.
Kesimpulan
Kesimpulan
tentu saja harus menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau menguji
hipotesis yang telah dikemukakan. Pertanyaan penelitian pada bagian D4 di atas
di samping menuntut jawaban yang berupa hasil juga menuntut prosesnya. Marilah
kita lihat pertanyaan-pertanyaan itu sekali lagi.
1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam
mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain ?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa diperoleh melalui tes awal dan atau selama
proses pembelajaran berlangsung. Walaupun baru berupa daftar kesulitan yang
dialami siswa, temuan ini cukup berarti bagi guru-guru lain. Kita sendiri pada
saat ini belum bisa membayangkan kesulitan-kesulitan tersebut.
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan
lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai ? Jawaban atas pertanyaan
ini diperoleh setelah guru menghubungkan berbagai mata pelajaran dalam materi
tes awal atau selama pembelajaran berlangsung, misalnya antara fisika dengan
biologi, ekonomi dengan sejarah, dan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu
mata pelajaran ? Kesimpulan ini dapat diperoleh melalui kuesioner dan atau
wawancara pada awal pembelajaran atau selama pembelajaran berlangsung.
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi
belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin
dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal ?Jawaban
atas pertanyaan ini diperoleh setelah siswa diberi perlakukan yang berbeda;
misalnya satu kelas diberi pelajaran multi disiplin, dan kelas lain diberi
pelajaran yang terpisah-pisah, seperti biasanya. Ini tampaknya merupakan fokus
dari CAR. Jika ditemukan bahwa mata pelajaran multidisiplin lebih berhasil
dalam mengembangkan kemampuan transfer keterampilan antar mata pelajaran,
peneliti perlu mengelaborasi bagaimana proses pembelajaran model multidisiplin
tersebut berlangsung.
Jadi
kesimpulan penelitian CAR akan kurang bermanfaaat jika bunyinya hanya seperti:
“Pembelajaran dengan media akan meningkatkan hasil belajar siswa.” Kesimpulan
ini mirip dengan yang diinginkan penelitian kuantitatif. Guru lain yang membaca
kesimpulan ini tentu ingin mengetahui bagaimana prosesnya sehingga media itu
bisa meningkatkan hasil belajar. Jadi kesimpulan itu masih harus diikuti dengan
proses atau rinciannya, seperti a) Transparansi OHP lebih disukai siswa
daripada media lain, b) Paling banyak hanya 10 transparansi dapat ditunjukkan
dalam satu presentasi, jika lebih dari itu siswa akan bosan; c) Presentasi pada
awal pembelajaran cenderung lebih disukai; d) Penjelasan yang terlalu lama
terhadap satu transparansi cenderung membuat siswa bosan; dan e) Satu kali
presentasi sebaiknya tidak lebih dari 20 menit.
2. Saran
Karena CAR
bersifat kontekstual, pemberian saran kepada orang lain berdasarkan hasil
penelitian tersebut sebenarnya kurang bermanfaat. Deskripsi konteks penelitian
secara rinci sudah cukup untuk memberikan informasi bagi guru lain yang ingin
meniru keberhasilan Anda. Saran seperti “Program CAR ini perlu lanjutkan dan
diperluas untuk tahun-tahun mendatang,” juga kurang begitu perlu, bahkan kurang
relevan.
Saran CAR
diperlukan misalnya jika temuan penelitian menyangkut sistem yang lebih luas
dari sekedar kelas, misalnya menghendaki adanya perubahan pengaturan jadwal
pelajaran di sekolah. Dalam hal itu peneliti dapat menyarankan tentang jadwal
yang diinginkan kepada fihak sekpolah.
PRINSIP-PRINSIP PTK
Dalam
bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, Action Research berkembang menjadi classroom
Action Research (CAR) = Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sebagai suatu penelitian
terapan, PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan proses dan kualitas
atau hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan PTK, guru
dapat menemukan penyelesaikan bagi masalah yang terjadi di kelasnya sendiri,
dan bukan di kelas guru yang lain. Tentu saja dengan menerapkan berbagai ragam
teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu, sebagai
peneliti praktis, PTK dilaksanakan bersamaan guru melaksanakan tugas utama
yaitu mengajar di dalam kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswa. Dengan
demikian, PTK merupakan suatu penelitian yang melekat pada guru, yaitu
mengangkat masalah-masalah aktual yang dialami oleh guru di lapangan. Dengan
melaksanakan PTK, diharapkan guru memiliki peran ganda, yaitu sebagai praktisi dan sekaligus peneliti
1.
Tindakan
dan pengamatan dalam proses penelitian yang dilakukan tidak boleh mengganggu
atau menghambat kegiatan utama, misalnya bagi guru tidak boleh sampai
mengorbankan kegiatan atau proses belajar mengajar. Menurut Hopkins (1993:
57-61), pekerjaan utama guru adalah mengajar, dan apapun metode PTK yang
kebetulan diterapkan, seyogyanya tidak berdampak mengganggu komitmen guru
sebagai pengajar. Ada 3 hal yang dapat dikemukakan berkenaan dengan prinsip
pertama ini. Pertama, dalam mencobakan
sesuatu tindakan pembelajaran yang baru, selalu ada kemungkinan bahwa
setidak-tidaknya pada awal-awalnya hasilnya kurang memuaskan dari yang
dikehendaki. Bahkan mungkin kurang dari yang diperoleh dengan “cara lama”
Karena bagaimanapun tindakan perbaika tersebut masih dalam taraf dicobakan.
Guru harus menggunakan pertimbangan serta tanggung jawab profesionalnya dalam
menimbang-nimbang : jalan keluar” yang akan mereka tempuh dalam rangka
memberikan yang terbaik kepada siswa. Kedua,
iterasi dari siklus tindakan juga dilakukan dengan mempertimbangkan
keterlaksanaan kurikulum secara keseluruhan, khususnya dari segi pembentukan
pemahaman yang mendalam yang ditandai oleh kemampuan menerapkan pengetahuan
yang dipelajari melalui analisis, sintesis dan evaluasi informasi, bukan
terbatas dari segi tersampaikannya GBPP kepada siswa dalam rukun waktu yang
telah ditentukan. Ketiga, penetapan
siklus tindakan dalam PTK mengacu kepada penguasaan yang ditargetkan pada tahap
perancangan, dan sama sekali tidak mengacu kepada kejenuhan informasi
sebagaimana lazim dipedomani dalam proses iteratif pengumpulan data penelitian
kualitatif.
2.
Masalah
guru. Masalah penelitian yang diusahakan oleh guru seharusnya merupakan masalah
yang cukup merisaukannya, dan berpijak dari tanggung jawab profesionalnya. Guru
sendiri harus memiliki komitmen ini juga diperlukan sebagai motivator intrinsik
bagi guru untuk “bertahan” dalam pelaksanaan kegiatan yang jelas-jelas menuntut
lebih dari yang sebelumnya diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
mengajarnya secara rutin. Dengan kata lain, pendorong utama pelaksanaan PTK
adalah komitmen profesional untuk memberikan layanan yang terbaik kepada siswa.
Dilihat dari sudut pandang ini, desakan untuk sekedar menyampaikan pokok bahasan
sesuai dengan GBPP dapat dan perlu ditolak karena alasan profesional yang
dimaksud .
3. Tidak terlalu menyita waktu. Metode
pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan bagi guru,
sehingga berpeluang menggangu proses pembelajaran di kelas. Dengan kata lain,
sejauh mungkin harus digunakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangani
sendiri oleh guru, sementara guru tetap aktif berfungsi sebagai guru yang
bertugas secara penuh. Sebagai gambaran, penggunaan tape recorder memang akan menghasilkan
rekaman yang lengkap dibanding dengan perekaman manual, namun peningkatan waktu
yang diperlukan untuk mencermati data melalui pemutaran ulang mungkin akan
segera terasa berlebihan. Oleh karena itu, dikembangkan teknik-teknik perekaman
yang cukup sederhana, namun dapat menghasilkan informasi yang cukup signifikan
serta dapat dipercaya.
4.
Metode dan teknik yang
digunakan tidak boleh terlalu menuntut dari segi kemampuan maupun waktunya.
5.
Metodologi yang digunakan harus terencana cermat, sehingga tindakan
dapat dirumuskan dalam suatu hipotesis tindakan yang dapat diuji di lapangan.
Guru dapat mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya,
serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk “menjawab” hipotesis yang dikemukakan
oleh karena itu, meskipun pada dasarnya “terpaksa” memperbolehkan “kelonggaran
– kelonggaran” namun penerapan asas – asas dasar telaah taan kaidah tetap harus
dipertahankan.
6.
Permasalahan atau topik yang dipilih harus benar – benar nyata, menarik,
mampu ditangani, dan berada dalam jangkauan kewenangan peneliti untuk melakukan
perubahan. Peneliti harus merasa terpanggil untuk meningkatkan diri.
7.
Peneliti harus tetap memperhatikan etika dan tata krama penelitian serta
rambu – rambu pelaksanaan yang berlaku umum. Dalam penyelenggaraan PTK, guru
harus selalu bersikap konsisten menaruh kepedulian tinggi terhadap prosedur
etika yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini penting ditekankan karena
selain melibatkan para siswa, PTK juga hadir dalam suatu konteks
organisasional, sehingga penyelenggaraannya pun harus mengindahkan tata krama
kehidupan berorganisasi. Artinya, prakarsa PTK harus diketahui oleh pimpinan
lembaga, disosialisasikan kepada rekan – rekan dalam lembaga terkait, dilakukan
sesuai dengan tata krama penyusunan karya tulis akademik, di samping tetap
mengedepankan kemaslahatan subjek didik.
8.
Kegiatan penelitian tindakan pada dasarnya harus merupakan gerakan yang
berkelanjutan ( on – going ), karena skope peningkatan dan pengembangan memang
menjadi tantangan sepanjang waktu. Meskipun kelas, sekaligus mata pelajaran
merupakan cakupan tanggung jawab bagi seorang guru, namun dalam pelaksanaan PTK
sejauh mungkin harus digunakan classroom exceeding perspective dalam arti
permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kelas dan / atau mata
pelajaran tertentu, melainkan dalam perspektif misi sekolah secara keseluruhan.
Perspektif yang lebih luas ini akan terlebih – lebih lagi terasa urgensinya,
apabila dalam suatu PTK, terlibat lebih dari seorang peneliti. Dapat juga dilakukan kolaborasi di antara dua atau lebih
guru dalam satu sekolah dan / atau guru dari sekolah lain, termasuk dosen LPTK.
0 komentar:
Posting Komentar