FOTO KEGIATAN

FOTO KEGIATAN
documentasi

Mengenai Saya

Selasa, 17 Oktober 2017

JURNAL INTERNASIONAL PENGEMBANGAN KURIKULUM PADA ERA POSTMODERN

JURNAL INTERNASIONAL PENGEMBANGANKURIKULUM PADA ERA POSTMODERN


Telaah Kritis Buku Curriculum Development In The Postmodern Era


BAB I 
PENDAHULUAN


Pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia, atau dengan bahasa lain pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Perkembangan pendidikan menyesuaikan dengan perkembangan jaman, dimulai dari periode premodern, periode modern, hingga sekarang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kita telah memasuki periode postmodern.

Periode premodern ditandai dengan kehidupan nomaden dan belum adanya struktur yang tetap terhadap segala sesuatu. Sedangkan periode modern menurut Alex Inkeles dan David. H Smith (1974) ditandai dengan ciri-ciri manusianya bersikap terbuka, siap menghadapi perubahan sosial, berpandangan luas, dorongan dan rasa ingin tahu yang begitu kuat, berorientasi pada masa sekarang, lebih percaya pada perencanaan, lebih percaya pada usaha manusia dari pada pada nasib atau takdir, menghargai keterampilan teknik sebagai dasar pemberi imbalan, berwawasan maju dalam pendidikan dan pekerjaan, menghargai kemuliaan orang lemah seperti anak-anak dan wanita, dan perlunya produktivitas. 
Periode posmodernisme menurut Bambang Sugiharto (2002: 52) ditandai dengan beberapa kecenderungan sebagai berikut: (1) Kecenderungan menganggap klaim tentang realitas (diri-subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dan lainnya) sebagai konstruksi semiotis, artifisial, dan ideologis; (2) Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang “substansi” objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas); (3) Realitas dapat ditangkap dan dikelola dengan banyak cara, serta dengan banyak sistem (pluralitas); (4) Paham tentang “sistem” sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan “jaringan”, “relasionalitas” ataupun “proses” yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis; (5) Cara pandang yang melihat segala sesuatu dari sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memadai. Segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah ‘posmodernisme’ sendiri harus dimengerti bukan sebagai oposisi, melainkan dalam relasinya dengan ‘modernisme’); (6) Melihat secara holistik berbagai kemampuan lain selain rasionalitas, misalnya emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan lainnya; serta; (7) Menghargai segala hal lain yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, misalnya kaum perempuan, tradisi lokal, agama.
Kurikulum yang merupakan bagian dari pendidikan mendapatkan pengaruh dari ketiga periode tersebut. Kurikulum yang merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan di era postmodern lebih cenderung untuk melihat ukuran keberhasilan pendidikan berdasar pada narasi yang open-ended, karena eksistensi manusia tidak dapat direduksi secara positif-kuantitatif, hitam atau putih (lulus atau tidak lulus). Ini juga cenderung bersifat desentralistik yang memperhatikan kenyataan-kenyataan lokal, termasuk di dalamnya nilai dan budaya lokal-tradisional yang selama ini mengalami marjinalisasi. Konkretnya, setiap daerah, bahkan setiap sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan daerah masing-masing dan kemampuan peserta didik yang ada (Suparno: 55). Dalam proses pembelajarannya, orientasi yang digunakan tidak lagi teacher-centered learning atau student-centered learning, tetapi lebih berupa teacher-student learning together. Ini berarti tidak lagi menggunakan apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai banking sistem. Kemudian, sama halnya dengan pendidikan yang memiliki hubungan keharusan dengan filsafat, pengetahuan juga memiliki hubungan keniscayaan dengan nilai, budaya, dan terus-menerus mengalami perubahan. 
Dalam buku Curriculum Development In The Postmodern Era karya Patrick Slattery dikaji lebih mendalam tentang perkembangan kurikulum di era postmodern. Untuk itu kelompok kami akan mengkaji bagian pertama dari buku tersebut dalam bantuk chapter report. Part One berbicara tentang postmodern curriculum development as a field of study, yang terdiri dari empat bahasan yaitu bahasan pertama introduction to curriculum development and postmodernity, bahasan kedua historical perspective on curriculum as a field study, bahasan ketiga the reconceptualization of curriculum and instruction, dan bahasan keempat postmodern schooling, curriculum, and the theological text. 


B A B II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengembangan Kurikulum dan Post Modern


Akhir-akhir ini penggunaan kata postmodern begitu banyak digunakan, ada yang disebut dengan dekonstruktif postmodern, konstruktif postmodern, eliminatif post modern, kultural postmodern, seni postmodern, masyarakat postmodern, teologi post modern, arsitektur postmodern dan lain sebagainya. Postmodern terbagi atas sebelas perspektif, dan hal ini dapat dipelajari dari buku ini, dan postmodern ini pun seiring sejalan dengan masa industri modern dan teknologi. Sementara gaya estetik dalam seni dan arsitektur antara lain eklektik, kaleidoskop, ironi dan allegorikal. Kritik sosial juga terjadi pada sistem ekonomi dan organisasi politik termasuk liberalisme dan komunisme. Perkembangan filosofi menunjukkan adanya pertentangan didalamnya dari metanaratif yang dipengaruhi oleh dekonstruktif modern yang melibatkan kejujuran, bahasa, ilmu pengetahuan dan kekuatan. Analisis kebudayaan memberikan kritik terhadap efek negatif dari teknologi modern yang ada pada kehidupan manusia dan lingkungannya saat dalam dunia global.
Para pemikir post modern mengikuti teori Thomas Kuhn (1970) melalui karyanya Struktur dari Revolusi Ilmiah, dimana teori ini digunakan untuk mendukung keyakinan bahwa komunitas global akan masuk kepada pengertian baru yang radikal dari terhadap politik, seni, ilmu-ilmu, teologi, ekonomi, psikologi, budaya dan pendidikan. Dengan teori Kuhn ini, penulis post modern menamakannya sebagai perubahan paradigma karena nilai kemanusiaan itu telah berpindah kepada wilayah baru dimana mereka mengenal adanya perluasan konsep atas diri mereka sendiri.
Sebelumnya paling tidak ada dua perubahan paradigma dari sejarah manusia. Pertama, perpindahan dari keterasingan komunitas nomadic pemburu dan pengumpul kearah masyarakat feudal dengan pendukung sistem negara kota dan pertanian. Kedua, perpindahan dari adanya suku-suku dan masyarakat feudal ke industrial kapitalis berpegang teguh kepada ekonomi dalam teknologi ilmiah, penggunaan sumber daya yang berlimpah, perkembangan sosial, pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berpikir rasional. Pertama tadi dinamakan periode Pre Modern atau revolusi neolitik dari tahun 1000 SM sampai 1450 M. Dan yang kedua, disebut Periode Modern atau Revolusi Industri sekitar tahun 1450 M sampai 1960 M. Pada periode Neolitik berkarakter pada perubahan yang lambat dan konsepnya berakar pada mitos dan budaya aristokratis dengan gaya yang artistik. Periode Industri berkarakter pada waktu, yang mendominasi gaya masyarakat borjuis. Pergantian paradigma postmodern berusaha melakukan perubahan masa lampau, dan konsep menjadi lebih baik dengan hadirnya beragam budaya dan beragam ekspresi dan ini disebut Revolusi Informasi Global.
Para pembelajar postmodern sangat berkomitmen terhadap konsep baru yang akan dikembangkan dari kurikulum untuk melengkapi lingkungan pergaulan sosial dan budaya pada era baru sejarah manusia saat ini.
Pendek kata, postmodernisme menginginkan dunia menjadi organisme atau makhluk hidup daripada menjadi mesin, bumi sebagai rumah ketimbang berfungsi sebagai hak milik atau benda saja, dan setiap orang akan saling bergantung daripada terkucil dan hidup menyendiri. Konsep postmodern menyatakan tidak hanya bidang tertentu yang terlibat pada perpindahan masa ini, tetapi juga ada perubahan dramatis dalam pemikiran dimana akan memperkaya kesadaran akan postmodernisme.

B. Sudut Pandang Sejarah Kurikulum Sebagai Bahan Pelajaran.
Chapter pertama telah memperkenalkan konsep interpretasi sejarah dari dua perspektif yang berbeda : perspektif pertama berhubungan dengan analisis objektif dan pengkategorian dari bidang informasi yang mempunyai nilai tersendiri. Penilaian ini menjadi objek yang bagus untuk dipelajari, karena untuk melewati berabad-abad, tentunya dalam masalah ini ada penjelasan secara logis berdasarkan perkembangan manusianya.
Di lain hal, perspektif kedua berhubungan dengan menginterpretasikan kembali, keunggulan dari pengalaman manusianya, kekuatan dari pengertian (arti) dan konteks, pembangunan konstruksi social, ketergantungan satu dengan yang lain akan waktu dan tempat. Pendek kata, sejarah memahami juga atas bedanya waktu dan tempat atau adanya hubungan erat antar relasi yang menyatukan waktu dan tempat.
Logika positivisme dan filsafat analisis pada umumnya berhubungan dengan perspektif yang pertama tadi. Ada juga para filosof yang ingin mengingkari analisis sejarah yang sudah berjalan karena adanya subjektifitas yang melekat yang berhubungan secara konteks kenyataan.
Kurikulum pendidikan postmodern akan memberikan argumen atas asumsi bahwa interpretasi secara sejarah harus diarahkan secara jelas ketepatannya bagi keilmuan dan ada nilai yang dominan bagi paradigma modern. Postmodernisme bisa dengan bebas untuk memilih sumber, inovatif, melakukan perbaikan, kritikan, penilaian subjektif akan interpretasi sejarah. Pengembangan kurikulum pada era postmodern akan memberikan argumen terhadap pendekatan tradisional atas logika positivisme modern kepada pelajaran sejarah sebagai sebuah peristiwa yang perlu dipelajari. 
Kurikulum postmodern akan mendorong refleksi autobiograpikhal, menjelaskan pengamatan yang didapat, memperbaiki hasil interpretasi dan mengerti secara kontekstual. Pengetahuan dipahami sebagai ketertarikan refleksi manusia, adanya nilai yang dianut, ada aksi yang dibangun secara sosial, seperti yang dijelaskan oleh Herbert Kliebard (1992).
  Kurikulum juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan nilai. Hubungan antara sosial kemasyarakatan dan kurikulum adalah hubungan timbal balik. Pada teks The Post Modern Condition , Lyotard (1984) menantang apapila ada dugaan secara total dan argumen mengenai Post Modernisme tidak dapat dipisahkan dari adanya ketidakpercayaan atau keraguan terhadap metanaratif. Bagi Lyotard, metanaratif adalah sekumpulan naratif dan sejarah filosofinya. Lyotard menyimpulkan, metanaratif modern menolak kekhususan, kemungkinan atau hal yang kebetulan, ironi, dan perbedaan.
Perbincangan Kurikulum postmodern memahami sejarah secara kontekstual, multidimensional, ironik. Para pembelajar di postmodern tidak begitu mudah dalam menyederhanakan bagaimana mengajar sejarah, fakta bahwa sejarah harus dihafal. Karena hasil karya sendiri, lokal dan khusus yang begitu diperlukan untuk memahami sejarah, dan sekarang guru sudah harus mendengarkan para muridnya dan mendengarkan cerita kehidupan mereka.
Ketika diperkenalkan sejarah kurikulum kemungkinan nampak lebih sulit dan kontroversial bagi mereka yang baru mengenal mengenai kurikulum postmodern. Jadi untuk memahami Kurikulum postmodern, maka guru tidak hanya melihat muridnya dari kejauhan, tetapi guru juga harus masuk ke dalam proses yang terjadi pada murid-murid itu sendiri. Partisipasi ini sesuai yang dikemukakan oleh Jonathan Kozol ditujukan untuk belajar sosial di kelas. Sejarah, bagaimanapun dari perspektif postmodern tidak harus dilakukan dengan menghafal tetapi lebih dari itu, kesempatan untuk menginformasikan keadaan sekarang dan menyediakan jalan menuju masa depan. Transformatif pedagogy ditujukan untuk terciptanya partisipasi dalam pedidikan sejarah.
Perbedaan lain antara sudut pandang modern dan postmodern dilihat dari segi fungsi kurikulum studi sosial di sekolah bisa melalui lukisan pada poster yang dipasang di kelas yang bertema belajar sejarah pasti menarik. Gambar poster bisa berupa daftar gambar pekerjaan seorang arkeolog, kurator, penulis, kritikus, pejuang, antropologis, pustakawan atau guru. Hal ini pasti akan berhasil dan kemungkinan tujuan akan tercapai memahami sejarah. Yang mencolok, kurikulum postmodern menantang baik guru dan murid untuk masuk ke dalam proses sejarah sebagai pelaku di kelas, bukan sebagai pengamat.
Era postmodern pada intinya adalah bagaimana memasukkan lebih dari berbagai sumber untuk dipilih secara bebas, dan secara subjektif bisa dimengerti dan ada pemikiran kritis. Siswa jangan dibiarkan begitu saja dengan pemahaman yang dipunyainya tanpa dibimbing. Maka dari itu pendekatan modern terhadap ilmu pengetahuan dan sejarah berisikan informasi yang dibangun siswa itu sendiri. Kemudian siswa harus punya pengalaman sebelum dia mulai untuk berpikir kritis pada saat belajar. Kegiatan ini melibatkan kebenaran ilmu yang telah ditemukan pada waktu yang lalu, dan juga melibatkan analisis sejarah untuk menghasilkan pengetahuan yang baru.
Pada intinya Schubert mengatakan bahwa, post modern itu adalah perubahan dari pendekatan tradisional mengarah kepada analisis yang berkaitan dengan sejarah. Cain dan Cain memberikan dukungannya untuk kurikulum postmodern bahwa adanya cakupan kompleksitas, toleran terhadap perbedaan, menerima ketidakpastian, asli (otentik). Evaluasi menjadi kontekstual bagi lingkungan pengajaran individual.

C. Pengertian Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum pendidikan postmodern secara kritis menelaah sejarah dari perkembangan kurikulum yang ada pada konteks ilmu pendidikan masing-masing dalam rangka membangun perspektif partisipasi. Konsep sejarah baru dikenal mahasiswa yang lulus dari Teori Kurikulum di Louisiana State University pada tahun 1980an ini, lalu saya mengenalkan Post Modernisme dan diberitakan atas apa yang saya hasilkan secara ethnographic, dan metodologi yang fenomenologikal. Ini adalah waktu yang menyenangkan bagi saya menjadi Profesor Kurikulum dan juga sebagai mahasiswa. Professor William Pinar tiba di LSU sebagai Kepala Departemen Kurikulum dan Pengajaran dari Universitas of Rochester dimana dia selalu memperhatikan perubahan kurikulum yang bisa juga disebut dengan Rekonseptualisasi (pemahaman kembali). Pinar juga banyak membawa hasil bagian dari ilmu pendidikan yang digabungkan dengan rekonseptualisasi ke bagian departemen di LSU, termasuk juga Tony Whitson, seorang sarjana Camron McCarthy, feminis Leslie Roman, sarjana Post Modern William Doll dan dekonstruksionis asal Canada Jacques Daignault dan masih ada yang lainnya. 
Satu hal dari program pengembangan kurikulum tradisional dan penyusunan kembali merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai.kelak, objek yang bisa diukur, penguasaan evaluasi dalam rangka untuk menghasilkan pendidikan yang lebih spesifik. 
Rekonseptualisasi menunjukkan kepada saya untuk melihat secara kritis terhadap teori perkembangan kurikulum, dan tentunya menyediakan jalan lain bagi postmodern untuk berbenah diri dan ada program yang paling baik bagi implementasi pendidikan saat ini.
Salah satu pusat utama dari rekonseptualisasi adalah sangat memperhatikan hasil karya yang dihasilkan dan pengalaman fenomenologikal. Hal ini telah digambarkan oleh William Pinar dan Madeleine Grumet pada sebuah teks Toward a Poor Curriculum (Kurikulum yang jelek), dimana para pengarang menulis mengenai fokus perubahan studi tentang kurikulum. Pinar dan Grumet (1976) tertantang untuk fokus kepada pengalaman internal daripada objek eksternal. Para penulis Eksistensialis antara lain Jean-Paul Sartre, Friedrich Nietzshe, Martin Buber dan Soren Kierkegaard, Sigmund Freud dan Carl Jung juga berhubungan dengan teori kurikulum di atas.

D. Sekolah Post Modern, Kurikulum dan Teks Teologikal
Munculnya visi postmodern konstruktif sekolah dalam komunitas global termasuk adanya ekletik dan hubungan umum akan spiritualitas dan teologi yang disusun untuk pendidikan presfektif ini disebut penulis sebagai ideology modern sebaliknya prespektif yang kembali kepada tradisional disebut ideology premodern, dan premodern ini menentang adanya pemisahan antara agama dan pemerintahan. 
Paulo Freire (1970) yang menyatakan masalah pendidikan tidak dapat dipisahkan dari politik, sosial dan ekonomi. Pada intinya teologi dan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari model pengembangan kurikulum. Kontribusi spiritualitas, teologi dan agama sekarang sudah mulai dimasukan menjadi sebuah gagasan kedalam perbaikan postmodern yang baru. Pengembangan spiritualitas, teologi, dan pendidikan agama kedalam visi postmodern sekolah diterima tanpa kritik.
Pendidikan postmodern belum menemukan jalan keluar dari dilema modern antar catatan sejarah dan agama di sekolah, dan kemudian presfektif lain sering memisahkan spiritualitas dan teologi dari kurikulum mereka. David Ray Griffin (1988) memasukan unsur nilai keagamaan dalam prespektif postmodern. William Doll menulis kurikulum postmodern adalah sebuah prakarsa dengan karakter kosmologikal yang memimpin untuk menjadikan individu secara spiritual. Gabriel Moran (1981) mengindikasikan bahwa pendapat ini dapat diterima secara akurat bagi pendidikan walaupun pendidikan agama bersifat universal. 



BAB III
ANALISIS


Istilah postmodernisme dapat memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Antara lain bisa berarti, aliran pemikiran filsafat; periodesasi sejarah berikut pergeseran paradigma di dalamnya; ataupun sikap dasar tertentu. Masing-masing pengertian tersebut memiliki konsekuensi logis yang berbeda meskipun saling berhubungan juga. Jika yang kita maksudkan adalah aliran filsafat, maka ia menunjuk terutama pada gagasan-gagasan Jean. F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah posmodernisme. 
========================================================================
File lengkap Download DISINI

Terimakasih atas kunjungannya .
Berbagi Itu Indah

0 komentar:

Posting Komentar