PROPOSAL TESIS
EMOSIONAL INTELLIGENCE DALAM MENINGKATKAN AKHLAK SISWA
A. Konteks Penelitian
Pola pembangunan SDM di
Indonesia selama ini terlalu mengedepankan IQ (kecerdasan intelektual) dan
materialisme tetapi mengabaikan EQ (kecerdasan emosi) terlebih SQ (Kecerdasan
spiritual). Pada umunya masyarakat Indonesia memang memandang IQ paling utama,
dan menganggap EQ sebagai pelengkap, sekedar modal dasar tanpa perlu
dikembangkan lebih baik lagi. Fenomena ini yang sering tergambar dalam pola
asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan juga sekolah-sekolah
negeri atau swasta pada umumnya. Maka tidak heran kalau banyak remaja siswa
Madrasah Aliyah berprestasi tapi tidak sedikit kemudian mereka yang berprestasi
juga menjadi siswa yang urakan dan mengabaikan tanggungjawabnya dalam menjalani
proses pendidikan di sekolah, terjebak dalam pergaulan bebas, narkoba dan atau
budaya tawuran sering dilakukan. Pengaruh obat-obatan terlarang, budaya kritis
yang cenderung negatif karena mengurangi kesopanan pada guru dan orang tua,
selama ini menjadi ciri adanya perubahan budaya pada remaja siswa di Indonesia.
Akhir-akhir ini, setiap
orang dari kepala sekolah dasar hingga pengkotbah dan president telah berusaha
sekuat tenaga mengatasi krisis perkembangan moral/akhlak anak-anak, tetapi
makin lama keadaan justru semakin memburuk. Bila statistik untuk ini saja sudah
mengejutkan, apa lagi cerita dibalik data tersebut.
Sehingga pada tahun
2003, lahirlah Undang-Undang SIKDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) Nomor 20
Tahun 2003 merupakan awal reformasi pendidikan yang mencoba menyeimbangkan pola
pembangunan SDM dengan mengedepankan SQ (Kecerdasan spiritual), EQ (kecerdasan
emosi) dan tidak mengabaikan IQ (kecerdasan intelektual)[1]
1
|
Oleh karena itu,
kecerdasan emosional harus slalu diasah. Penelitian-penelitian telah
menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama untuk membuat siswa yang
bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di
arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah
masuk kedunia kerja atau ketika sudah berkeluarga[3]
Daniel Golman
mengangkat kasus yang sangat tragis berkenaan dengan orang yang IQ-nya tinggi,
tetapi sebaliknya EQ-nya sangat rendah, yang merupakan tipe-tipe akademis
murni. Jason H. adalah seorang siswa SMU yang cerdas, ia memiliki cita-cita
untuk memasuki fakultas kedokteran Harvard. Akan tetapi, kata Golman, karena
Pologruto,guru guru fisikanya member nilai 80 kepada Jason dalam satu tes,
akibanya menjadi sangat fatal. Jason beranggapan bahwa dengan nilai ia akan
terhalang untuk memasuki fakultas kedokteran, karena itu dengan sebuah pisau
dapur ia tusuk guru fisikanya tersebut[4]
Disinilah, seperti dikatakan oleh Golman,yang ‘pintar’ itu berubah menjadi
“bodoh,” karena apa yang telah di cita-citakan, hancur berantakan karena
ketidak mampuannya untuk mengendalikan diri (nafsu) sendiri.
Banyak media-media masa
,media online dan televisi yang memberitakan tentang rendahnyan kecerdasa
emosional yang dimiliki remaja-remaja kita saat ini, sehingga itu berimbas pada
Akhlakul karimah mareka. Seperti yang diberitakan http://metro.sindonews.com Sedikitnya
lima sekolah terlibat dalam aksi tawuran yang menewaskan Ahmad Arifin (17)
siswa SMK PGRI 2 di Cikokol, Kota Tangerang pada Senin 6 April 2015 kemarin.
Saat ini, kasus tersebut tengah diselidiki pihak kepolisian setempat.[5]
Berita yang lain, “Kategori : Sindo Siang ,Kalangan pelajar dan guru
di Grobogan, Jawa Tengah, dihebohkan beredarnya video mesum yang
diduga dilakukan oleh pasangan pelajar dari MAN 1Purwodadi.
Ironisnya, dalam video yang berdurasi 10 menit tersebut, pengambilan gambar tampak dilakukan oleh warga yang mempergoki kedua pelaku tengah melakukan hubungan seks di obyek wisata Gua Macan Desa Sumberjatipohon Kecamatan Grobogan. Menanggapi hal itu, Wakil Kepala MAN Purwodadi M Bashori mengakui seragam yang dipakai pelaku adalah seragam MAN. Tetapi pihaknya belum percaya pelakunya adalah siswanya. Kapolres Grobogan AKBP Indra Dermawan memastikan, pihaknya sudah mengetahui ciri-ciri warga yang terlibat adegan mesum tersebut”.[6]
Ironisnya, dalam video yang berdurasi 10 menit tersebut, pengambilan gambar tampak dilakukan oleh warga yang mempergoki kedua pelaku tengah melakukan hubungan seks di obyek wisata Gua Macan Desa Sumberjatipohon Kecamatan Grobogan. Menanggapi hal itu, Wakil Kepala MAN Purwodadi M Bashori mengakui seragam yang dipakai pelaku adalah seragam MAN. Tetapi pihaknya belum percaya pelakunya adalah siswanya. Kapolres Grobogan AKBP Indra Dermawan memastikan, pihaknya sudah mengetahui ciri-ciri warga yang terlibat adegan mesum tersebut”.[6]
Fenomena-fenomena
tersebut adalah salah satu gambaran kurangnnya pengetahuan tentang diri (EQ)
tidak dimiliki peserta didik kita, akibatnya terjadi “kekosongan” yang kemudian
di isi oleh sentiment, kemarahan, kesombangan dan sifat-sifat buruk lainnya,
yang menggerakkan untuk berbuat jahat. Dalam bahasa al-Qura’an dikatakan,
barang siapa menolak pengajaran Allah, maka syaitan akan mendudukinya untuk
melakukan tindakan-tindakan jahat[7]
Mengetahui diri sendiri
berarti mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki sendiri,
mengetahui kelemahan-kelemahan dan juga perasan dan emosi. Dengan mengetahui
hal tersebut, seseorang mestinya juga bisa mendayagunakan, mengekspresikan,
mengendalikan dan juga mengomunikasikan dengan pihak lain[8]
Sekolah merupakan
tempat bagaimana anak belajar berinteraksi dengan orang lain. Sekolah harus
membangun budaya yang mengedepankan aspek moral, cinta kasih, kelembutan, nilai
demokratis, menghargai perbedaan, berlapang dada menerima kenyataan, dan
menjauhkan diri dari nilai-nilai kekerasan. Sekolah harus meningkatkan
kecerdasan emosional (psikologis) yang berpengaruh terhadap faktor
Akhlak (tingkah laku) siswa agar dapat mencapai tingkat mutu pendidikan.
Semua permasalahan di
atas merupakan sebuah realita yang mana kecerdasan emosional itu sangat
berpengaruh tehadap tingkah laku (akhlak) seseorang. Pengaruh kecerdasan
emosional bisa digambarkan melalui kekuatan emosi seseorang yang bisa lebih
kuat daripada kekuatan logikanya. Itu karena, otak logika berfikir kalah cepat
dengan otak emosi. Yang dimaksud dengan otak emosi, adalah bagian otak yang
disebut amigdala, yaitu bagian yang berproses memberikan respon berupa
tindakan emosional.
Permasalahan yang
banyak muncul dan terjadi adalah permasalahan yang berhubungan dengan setting/beground
keluarga siswa, yang sangat mempengaruhi tingkah laku atau akhlak mereka di
sekolah. Anak-anak yang memiliki permasalahan keluarga (broken home)
sering mangalami stress yang berlebihan sehingga akan membuat mereka tidak
besemangat dalam mengikuti pelajaran, dan berlaku acuh-tak acuh terhadap semua
orang, dia sering tidak bersemangat dalam mengikuti setiap pelajaran,
tidak disiplin dan sering membolos sekolah. Namun berkat bimbingan-bimbingan
yang dilakukan oleh pihak sekolah pasti bisa membuat perubahan yang besar.
Inilah bagaimana sekolah sangat berperan penting dalam membentuk prilaku setiap
siswa menjadi orang yang dewasa dan mandiri.
Maka dari itu, dalam
kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu
faktor yang sangat berpengaruh dalam pembentukan akhlaknya, maka dalam
penyusunan Proposal Tesis ini penulis tertarik untuk meneliti ada atau tidaknya
kaitan anatara Emosional Intelligence Dalam Meningkatkan Akhlak Siswa, melalui Studi
Multi Situs Di .....................dan ........................”
[2] Peraturan Pemerintah nomer 32 tahun
2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomer 19 tahun 2005 tentang Setandar
Nasional Pendidikan,
[3]Jeanne Anne Craig. Bukan
seberapa cerdas diri anda tetapi bagaiman anda cerdas/alih bahasa Arvin
saputra. (Batam: Interaksara,2004).hlm 19
Atau baca juga : PENDIDIKAN MASA ANAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
0 komentar:
Posting Komentar