Senin, 19 Februari 2018

PROPOSAL TESIS EMOSIONAL INTELLIGENCE DALAM MENINGKATKAN AKHLAK SISWA

PROPOSAL TESIS 
EMOSIONAL INTELLIGENCE  DALAM MENINGKATKAN AKHLAK SISWA


A. Konteks Penelitian                                                                                                          
Pola pembangunan SDM di Indonesia selama ini terlalu mengedepankan IQ (kecerdasan intelektual) dan materialisme tetapi mengabaikan EQ (kecerdasan emosi) terlebih SQ (Kecerdasan spiritual). Pada umunya masyarakat Indonesia memang memandang IQ paling utama, dan menganggap EQ sebagai pelengkap, sekedar modal dasar tanpa perlu dikembangkan lebih baik lagi. Fenomena ini yang sering tergambar dalam pola asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan juga sekolah-sekolah negeri atau swasta pada umumnya. Maka tidak heran kalau banyak remaja siswa Madrasah Aliyah berprestasi tapi tidak sedikit kemudian mereka yang berprestasi juga menjadi siswa yang urakan dan mengabaikan tanggungjawabnya dalam menjalani proses pendidikan di sekolah, terjebak dalam pergaulan bebas, narkoba dan atau budaya tawuran sering dilakukan. Pengaruh obat-obatan terlarang, budaya kritis yang cenderung negatif karena mengurangi kesopanan pada guru dan orang tua, selama ini menjadi ciri adanya perubahan budaya pada remaja siswa di Indonesia.
Akhir-akhir ini, setiap orang dari kepala sekolah dasar hingga pengkotbah dan president telah berusaha sekuat tenaga mengatasi krisis perkembangan moral/akhlak anak-anak, tetapi makin lama keadaan justru semakin memburuk. Bila statistik untuk ini saja sudah mengejutkan, apa lagi cerita dibalik data tersebut.
Sehingga pada tahun 2003, lahirlah Undang-Undang SIKDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) Nomor 20 Tahun 2003 merupakan awal reformasi pendidikan yang mencoba menyeimbangkan pola pembangunan SDM dengan mengedepankan SQ (Kecerdasan spiritual), EQ (kecerdasan emosi) dan tidak mengabaikan IQ (kecerdasan intelektual)[1]

1
            Sedangkan seiring perkembangan jaman dan kemajuan perkembangan dibidang pendidikan dan teknologi lambat laun pemerintah mulai memperhatikan pendidikan dengan memodifikasi kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013 yang didalmnya tidak sekedar mementingkan IQ saja melaikan juga mengutamakan keberhasilan dari segi EQ, bahkkan SQ.  Dalam hal ini terbukti dengan diberlakunya Kurikulum 2013.[2]
Oleh karena itu, kecerdasan emosional harus slalu diasah. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama untuk membuat siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk kedunia kerja atau ketika sudah berkeluarga[3]
Daniel Golman mengangkat kasus yang sangat tragis berkenaan dengan orang yang IQ-nya tinggi, tetapi sebaliknya EQ-nya sangat rendah, yang merupakan tipe-tipe akademis murni. Jason H. adalah seorang siswa SMU yang cerdas, ia memiliki cita-cita untuk memasuki fakultas kedokteran Harvard. Akan tetapi, kata Golman, karena Pologruto,guru guru fisikanya member nilai 80 kepada Jason dalam satu tes, akibanya menjadi sangat fatal. Jason beranggapan bahwa dengan nilai ia akan terhalang untuk memasuki fakultas kedokteran, karena itu dengan sebuah pisau dapur ia tusuk guru fisikanya tersebut[4] Disinilah, seperti dikatakan oleh Golman,yang ‘pintar’ itu berubah menjadi “bodoh,” karena apa yang telah di cita-citakan, hancur berantakan karena ketidak mampuannya untuk mengendalikan diri (nafsu) sendiri.
Banyak media-media masa ,media online dan televisi yang memberitakan tentang rendahnyan kecerdasa emosional yang dimiliki remaja-remaja kita saat ini, sehingga itu berimbas pada Akhlakul karimah mareka. Seperti yang diberitakan http://metro.sindonews.com  Sedikitnya lima sekolah terlibat dalam aksi tawuran yang menewaskan Ahmad Arifin (17) siswa SMK PGRI 2 di Cikokol, Kota Tangerang pada Senin 6 April 2015 kemarin. Saat ini, kasus tersebut tengah diselidiki pihak kepolisian setempat.[5]

Berita yang lain, “Kategori : Sindo Siang ,Kalangan pelajar dan guru di Grobogan, Jawa Tengah, dihebohkan beredarnya video mesum yang diduga dilakukan oleh pasangan pelajar dari MAN 1Purwodadi.
Ironisnya,  dalam video yang berdurasi 10 menit tersebut, pengambilan gambar tampak dilakukan oleh warga yang mempergoki kedua pelaku tengah melakukan hubungan seks di obyek wisata Gua Macan Desa Sumberjatipohon Kecamatan Grobogan. Menanggapi hal itu, Wakil Kepala MAN Purwodadi M Bashori mengakui seragam yang dipakai pelaku adalah seragam MAN. Tetapi pihaknya belum percaya pelakunya adalah siswanya. Kapolres Grobogan AKBP Indra Dermawan memastikan, pihaknya sudah mengetahui ciri-ciri warga yang terlibat adegan mesum tersebut”.[6]
Fenomena-fenomena tersebut adalah salah satu gambaran kurangnnya pengetahuan tentang diri (EQ) tidak dimiliki peserta didik kita, akibatnya terjadi “kekosongan” yang kemudian di isi oleh sentiment, kemarahan, kesombangan dan sifat-sifat buruk lainnya, yang menggerakkan untuk berbuat jahat. Dalam bahasa al-Qura’an dikatakan, barang siapa menolak pengajaran Allah, maka syaitan akan mendudukinya untuk melakukan tindakan-tindakan jahat[7]
Mengetahui diri sendiri berarti mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki sendiri, mengetahui kelemahan-kelemahan dan juga perasan dan emosi. Dengan mengetahui hal tersebut, seseorang mestinya juga bisa mendayagunakan, mengekspresikan, mengendalikan dan juga mengomunikasikan dengan pihak lain[8]
Sekolah merupakan tempat bagaimana anak belajar berinteraksi dengan orang lain. Sekolah harus membangun budaya yang mengedepankan aspek moral, cinta kasih, kelembutan, nilai demokratis, menghargai perbedaan, berlapang dada menerima kenyataan, dan menjauhkan diri dari nilai-nilai kekerasan. Sekolah harus meningkatkan kecerdasan emosional (psikologis) yang berpengaruh terhadap faktor Akhlak (tingkah laku) siswa agar dapat mencapai tingkat mutu pendidikan.
Semua permasalahan di atas merupakan sebuah realita yang mana kecerdasan emosional itu sangat berpengaruh tehadap tingkah laku (akhlak) seseorang. Pengaruh kecerdasan emosional bisa digambarkan melalui kekuatan emosi seseorang yang bisa lebih kuat daripada kekuatan logikanya. Itu karena, otak logika berfikir kalah cepat dengan otak emosi. Yang dimaksud dengan otak emosi, adalah bagian otak yang disebut amigdala, yaitu bagian yang berproses memberikan respon berupa tindakan emosional.
Permasalahan yang banyak muncul dan terjadi adalah permasalahan yang berhubungan dengan setting/beground keluarga siswa, yang sangat mempengaruhi tingkah laku atau akhlak mereka di sekolah. Anak-anak yang memiliki permasalahan keluarga (broken home) sering mangalami stress yang berlebihan sehingga akan membuat mereka tidak besemangat dalam mengikuti pelajaran, dan berlaku acuh-tak acuh terhadap semua orang,  dia sering tidak bersemangat dalam mengikuti setiap pelajaran, tidak disiplin dan sering membolos sekolah. Namun berkat bimbingan-bimbingan yang dilakukan oleh pihak sekolah pasti bisa membuat perubahan yang besar. Inilah bagaimana sekolah sangat berperan penting dalam membentuk prilaku setiap siswa menjadi orang yang dewasa dan mandiri.
Maka dari itu, dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam pembentukan akhlaknya, maka dalam penyusunan Proposal Tesis ini penulis tertarik untuk meneliti ada atau tidaknya kaitan  anatara  Emosional Intelligence  Dalam Meningkatkan Akhlak Siswa, melalui Studi Multi Situs Di .....................dan ........................




[1]Tuti. Kecerdasan Emosional/ http;//azzahra-university.ac.idselasa 03 Juni 2015. 12:00 WIB
[2] Peraturan Pemerintah nomer 32 tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomer 19 tahun 2005 tentang Setandar Nasional Pendidikan,
[3]Jeanne Anne Craig. Bukan seberapa cerdas diri anda tetapi bagaiman anda cerdas/alih bahasa Arvin saputra. (Batam: Interaksara,2004).hlm 19
[4] Suharsono. Melejitkan IQ, EQ, SQ. (Depok: Inisiasi Press,2005). hlm 115
[7] Suharsono. Op., Cit., hlm 116
[8] Ibid. hlm 119

File lengkap dalam bentuk words silahkan klik DISINI

0 komentar:

Posting Komentar