A. PENDAHULUAN
Sekarang ini Negara kita dalam masa
perkembangan tehnologi yang sedemikian canggih , banyak sekali perubahan yang
terjadi, yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap dunia pendidikan di
Indonesia . Sebenarnya kondisi
tradisional sangat perlu dipertahankan keberadaannya untuk mengatasi situasi
dan kondisi yang semakin hari semakin maju dengan tehnologi tersebut. Filsafat
yang dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat atau bangsa merupakan asas dan
pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa termasuk aspek
pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat
yang di anut oleh suatu bangsa. Sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau
mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat itu sendiri.
Pendidikan sebagai suatu lembaga
berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem-sistem norma tingkah laku yang di
dasarkan pada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan
pendidik dalam suatu masyarakat.[1]Di
bidang pemikiran, Islam tradisional adalah suatu ajaran yang berpegang pada
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para sahabat dan secara keyakinan telah
dipraktekkan oleh komunitas muslim (Ahlu al Sunnah Wa al Jama’ah ). Dalam filsafat
juga terdapat berbagai aliran, seperti progresivisme ,esensialisme,
perenialisme dan rekontruksionisme dan lainnya.karena filsafat pendidikan
merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam
aliran, maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga bermacam aliran.[2]
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang, Tradisionalisme
dalam pendidikan dasar Islam serta aliran pemikiran perenialisme
dan esensialisme, yang mana dalam konteks pemikiran pendidikan Islam diwakili
oleh aliran tradisionalisme.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tradisionalisme
Tradisionalisme
berasal dari kata latin tradere yang artinya menyerahkan, memberikan,
meninggalkan. Dari kata ini
terbentuk kata benda traditio yang berarti penyerahan, pemberian,
peninggalan, warisan tradisi Kata traditio inilah yang menjadi asal istilah tradisionalisme.
Tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari
generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup. Tradisi dapat berasal dari
praktek hidup yang sudah berjalan lama, ini disebut tradisi kultural. Dapat
pula berasal dari keyakinan keagamaan yang berpangkal pada wahyu ini disebut
tradisi keagamaan.
Sebagai
aliran etis, tradisionalisme dapat berpegang pada tradisi budaya atau
kultural yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek moyang, atau pada
tradisi keagamaan yang bersumber pada wahyu keagamaan. Tradisi etis itu
tampak juga dalam bahasa, seperti petuah, nasihat, pepatah, norma dan prinsip,
dalam perilaku, seperti cara hidup, bergaul, bekerja, dan berbuat, serta dalam
pandangan dan sikap hidup secara keseluruhan. Bentuk bahasa, perilaku,
pandangan, dan sikap hidup merupakan tempat menyimpan nilai-nilai etis ,wahana
pengungkapan, dan sarana mewujudkannya.[3]Filsafat
pendidikan merupakan ilmu yang tergolong relatif masih baru. bidang ini baru
berkembang pesat pada awal abad ke 20 meskipun dasar-dasarnya telah ada sejak
zaman Yunani.
Ketika
istilah tradisional ini bersentuhan dengan tradisi Lokal Indonesia maka Dalam
konteks diskursus Islam Indonesia, tradisionalisme Islam diidentifikasi sebagai
paham yang : pertama, sangat terikat dengan
pemikiran Islam tradisional, yaitu pemikiran Islam yang
masih terikat kuat dengan pikiran ulama fiqih, hadith, tasawuf, tafsir dan
tauhid yang hidup antara abad ke tujuh
hingga abad ke tiga belas.3
Kedua,sebagian besar merekatinggal di
pedesaan dengan pesantren sebagai basis
pendidikannya. Pada mulanya mereka menjadi kelompok
eksklusif, cenderung mengabaikan masalah dunia karena keterlibatannya
dalam dunia sufisme dan tarekat bertahan
terhadap arus modernisasi danaruspemikiransantri
kota, cenderung mempertahankan apa yang
mereka miliki
dan ketundukan
kepada kyai yang hampir-hampir tanpa batas.
Ketiga,
keterikatan terhadap paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah yang
dipahami secara khusus.
Dengan
karakter demikian, tradisionalisme Islam menjadi
sasaran
kritik gerakan
modernisme Islam. Yang
menolak sama sekali produk-produk intelektual
yang menjadi landasan konstruksi tradisionalisme,
sehingga–sampai tahapan tertentu–tradisi pemikiran
klasik ditinggalkan, dan yang dominan
adalah keterpesonaan terhadap berba-gai aliranpemikiran
Barat. Tendensi kaum modernis yang menolak
produk dialektika Islam dengan tradisi lokal belakangan ini
mengalami titik jenuh yang sebabnya antara lain karena sempitnya wahana
intelektual yang hanya berorientasi pada
al-Qur’an dan Sunnah. Irrelevansi
yang semakin nyata terlihat dengan kultur keislaman
di Indonesia.
Dalam
konteks demikian, pada pertengahan tahun
1990-an berkembang wacana pemikiran keislaman yang kembali
menghargai khazanah pemikiran Islam klasik. Mula-mula yang menjadi rujukan arus
baru dinamika pemikiran keislaman ini adalah pemikiran Fazlur Rahman. yang diidentifikasi sebagai neo-modernisme
Islam. Neo-modernisme Islam berusaha mencari sintesis
progresif dari rasionalitas modernis dengan
tradisi Islam klasik.
Meskipun
neo-modernisme berusaha untuk memadukan modernisme dengan
tradisionalisme, namun oleh kalangan tertentu
dinilai gagal keluar dari kontek modernism dan menjadikan tradisionalisme sekedar
ornament sejarah dan bukan spirit transformasi sosial.
Filsafat pendidikan muncul dalam rangka memecahkan
berbagai problematika yang ada khususnya dalam bidang pendidikan.Diantarannya yang
termasuk dalam kelompok tradisional adalah perenialisme dan
esensialisme.[4]
Sebelum mengetahui lebih lanjut tentang pemikiran tradisionalisme dalam
pendidikan ,penulis ketengahkan terlebih dahulu aliran perenialisme dan
esensialisme dalam filsafat pendidikan, karena pemikiran tradisionalisme
lebih dekat atau terwakili oleh perenialisme
dan esensialisme, berikut ini penjelasannya
2.
Aliran Filsafat Pendidikan
Aliran
ini dibagi menjadi dua yaitu :
a. Aliran
Perenialisme
Aliran
ini dianggap sebagai “regresive road to culturer” yakni jalan kembali ,
mundur kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme menghadapi kenyataan dalam
kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan
manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan
dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau” kebudayaan yang di anggap
ideal.[5]
Dalam pengertian yang lain, Perenialisme memandang
tradisi sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang
sejarah umat manusia, karena ia adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan
merupakan hakikat insaniah manusia. [6]
Perenialisme melihat zaman sekarang
sedang mengalami krisis kebudayaan karena kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Dalam rangka mengatasi gangguan kebudayaan ini maka diperlukan
usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosio-kultural, intelektual dan
moral. Dan ini menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Regresif,
merupakan salah satu langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah ini. Regresif
merupakan kembalinya kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar untuk
bertingkah pada zaman kuno dan abad pertengahan.[7]
Aliran ini memandang
pendidikan bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan suatu upaya untuk
mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi situasi yang riil.
Anak hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar dengan prestasi-prestasi
warisan budaya masa lalu. Tugas seorang anak didik adalah belajar dan
merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur dan bila
memungkinkan untuk meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui usaha sendiri.[8]
Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu anak
didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran abadi, karena kebenarannya
mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan
merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan
adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Aliran ini
menilai belajar itu untuk berfikir.[9]
b. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran
pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia.[10]
Aliran esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada
kebudayaan-kebudayaan lama warisan sejarah yang telah membuktikan
kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia (Muhammad Noor Syam, 1988:260).
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme serba ilmiah dan materialistik
,selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari penganut aliran idealisme
dan realisme (Zuhairini,1995, 25).[11]
Aliran esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan
yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena
kebudayaan lama dipandang telah melakukan banyak kebaikan untuk manusia.
Kebudayaan lama ini telah ada sejak masa Renaissance dan tumbuh berkembang.
Kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno. Aliran ini merupakan
gabungan antara ide filsafat idealisme dan realisme.[12]
Diantara prinsip-prinsip pendidikan menurut aliran
esensialisme adalah :
a. Belajar pada dasarnya
melibatkan kerja keras dan kadang-kadang dapat menimbulkan keseganan dan menekankan
pentingnya prinsip disiplin.
b. Inisiatif
dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik (guru) bukan pada anak.
c.Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi
dari subyek materi yang telah ditentukan.Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan
dengan pasti oleh guru
d.Sekolah
harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin
mental.
e. Tujuan
akhir dari pendidikan ialah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, karena
dianggap merupakan tuntunan demokrasi yang nyata. (Uyoh Sadullah,2003:163-164
dan Burhanuddin Salam,1997:58-59).[13]
Bertolak dari penjelasan tersebut ,maka selanjutnya
penulis sampaikan model pemikiran (filosofios) pendidikan Islam, dimana
pemikiran tradisionalisme ternyata lebih dekat atau terwakili oleh perenialisme dan esensialisme.
Berikut ini penjelasannya :
3.
Keterkaitan Tradisionalisme Dengan
Perenialisme dan Esensialisme
Menurut Muhaimin, pengembangan pemikiran (filosofis)
pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang
di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab
tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu,
Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman ,yaitu : 1)
Model Tekstual Salafi; 2) Model Tradisional Mazhabi; 3) Model Modernis; dan 4)
Model Neo-Modernis.[14]
Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan model
Tekstual Salafi dan model Tradisional Mazhabi yang terkait dengan pemikiran
tradisionalisme. Berikut penjelasan kedua model pemikiran keislaman tersebut :
Model Tekstualis
Salafi
Aliran
ini berusaha untuk memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Sunnah dan melepaskan diri dari atau kurang memperhatikan
konteks dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya baik pada era
klasik ataupun modern. Masyarakat yang didam-idamkan adalah masyarakat salaf di
era nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Landasan pemikiran aliran ini hanya
ada dua yaitu al-Quran dan al-Sunnah dan tanpa menggunakan pendekatan keilmuan
yang lain. Dalam menjawab berbagai tantangan zaman,
aliran ini hanya menggunakan al-Quran dan al-Sunnah. Ini menunjukkan bahwa aliran
ini lebih bersikap regresif dan konservatif.[15]
Jika
kita lihat kepada pemikiran filsafat pendidikan, ada dua tipe yang lebih dekat
dengan aliran tekstualis salafi, yaitu aliran pendidikan yang termasuk
dalam kategori tradisional (perenialisme dan esensialisme). Perenialisme
menghendaki kembalinya kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, sedangkan
tekstualis salafi menghendaki agar kembali ke masyarakat salaf (era Nabi dan
sahabat). Namun intinya, kedua aliran ini sama-sama regresif.
Adapun esensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas
nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan
nilai-nilai ini sampai kepada manusia tentunya telah teruji oleh waktu. Tektualis
Salafi menjunjung tinggi nilai-nilai salaf dan perlu dilestarikan
keberadaannya, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dalam
konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam, aliran ini menyajikan kajian
tentang pendidikan secara manquli, yakni memahami atau menafsirkan
nas-nas tentang pendidikan dengan nas yang lain, atau dengan mengambil pendapat
sahabat. Aliran ini berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian tekstual-lughawi
atau berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam memahami al-Quran, hadits
Nabi, dan perkataan sahabat, serta memperhatikan praktik pendidikan pada era
salaf, untuk selanjutnya berusaha mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai
tersebut hingga saat ini. Dalam bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam,
model ini dapat dikategorikan sebagai tipologi perenial-tekstualis salafi
dan sekaligus esensial-tekstualis salafi. Untuk menyederhanakan model
ini, maka dapat kita sebut dengan istilah perenial-esensial salafi.[16]
Model
Tradisionalis Madzhabi
Aliran ini berupaya memahami ajaran dan nilai mendasar
yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah melalui bantuan khazanah pemikiran
Islam klasik, namun tidak begitu memperhatikan keadaan sosio-historis
masyarakat setempat di mana ia hidup di dalamnya. Hasil pemikiran para ulama
terdahulu dipandang sudah pasti tanpa melihat sisi historisnya. Masyarakat
ideal bagi aliran ini adalah masyarakat muslim era klasik, di mana menganggap
bahwa semua persoalan agama telah dikupas tuntas oleh para ulama terdahulu.
Mereka bertumpu kepada ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tentang
ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Kitab kuning menjadi rujukan pokok
aliran ini.
Aliran ini menonjolkan akan wataknya yang tradisional
dan madzhabi. Tradisional ditunjukkan dalam bentuk sikap, cara berpikir,
dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai, norma, dan adat kebiasaan
yang telah turun temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio
historis dengan berubahnya masyarakat dan zaman. Watak madzhabi dari aliran ini
diwujudkan dalam kecenderungannya mengikuti aliran, pemahaman, atau doktrin
yang dianggap sudah relatif mapan pada masa sebelumnya.[17]
Dengan ketradisionalan dan kemadzhabannya, aliran ini
dalam pengembangan pemikiran filsafat pendidikan Islam lebih menekankan pada
pemberian penjelasan dari materi-materi pemikiran para pendahulunya tanpa
adanya perubahan substansi pemikiran pendahulunya. Pendidikan Islam dengan
model ini berupaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya
serta praktik sistem pendidikan terdahulu dari satu generasi ke generasi
berikutnya tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan zaman yang dihadapinya.
Melihat wataknya yang sedemikian itu, aliran ini juga lebih dekat dengan perennialisme
dan essensialisme, karena wataknya yang masih regresif dan konservatif.
Aliran ini disebut tipologi perenial-esensial madzhabi.
Aliran ini membangun konsep pendidikan Islam melalui
kajian terhadap khazanah pemikiran Islam terdahulu, baik dalam hal tujuan
pendidikan, kurikulum, hubungan guru murid, metode pendidikan, sampai kepada lingkungan
pendidikan yang dirumuskan.
Berbeda dengan aliran yang pertama, aliran ini lebih
menghargai hasil yang telah diciptakan oleh pendahulunya. Karena aliran ini
masih menganggap dan menggunakan sistem pendidikan yang digunakan oleh masa
sebelumnya dan hal itu dirasa baik. Namun di sini masih ada sikap tertutup dari
aliran ini yang tidak menerima hal-hal yang baru,Menurut penulis sikap ini
yang kurang bijak karena apapun di dunia ini selalu berubah. [18]
4.
Implikasi Pemikiran Tradisionalisme Terhadap Pendidikan
a. Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan era
salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan diorientasikan kepada penemuan dan
internalisasi kebenaran masa lalu yang dilakukan oleh anak didik, menjelaskan
dan menyebarkan warisan salaf melalui inti pengetahuan yang terakumulasi dan
telah berlaku sepanjang masa dan penting untuk diketahui semua orang.[19]
Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin agama,
kitab-kitab besar, kembali kepada hal-hal yang mendasar, serta mata pelajaran
kognitif yang ada pada era salaf. Dalam kurikulum pendidikan agama Islam bidang
akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain),
atau membaca al-Quran yang dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta
menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan
para salaf.
Metode pembelajran yang dilakukan
melalui ceramah dan dialog, diskusi, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas
diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku
dan terstruktur. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi, dan
tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas tinggi yang paham akan
kebijakan dan kebenaran masa lalu dan tentunya ahli dalam bidangnya.[20]
b. Perenial-Esensialis
Madzhabi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan Islam
yang tradisional dan memiliki kecenderuangan untuk mengikuti aliran,
pemahaman atau doktrin serta pemahaman pemikiran-pemikiran masa lampau yang
dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi melestarikan dan
mengembangkannya melalui upaya pemberian penjelasan dan catatan-catatan dan
kurang ada keberanian untuk mengganti substansi materi pemikiran pendahulunya.
Di sini pendidikan Islam lebih dijadikan sebagai upaya untuk mempertahankan dan
mewariskan nilai, tradisi, dan budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya.[21]
Pendidikan berorientasi pada upaya murid untuk
menemukan dan menginternalisasi kebenaran-kebenaran sebagai hasil interpretasi
ulama pada masa klasik. Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran,
nilai-nilai, dan pemikiran para pendahulu yang dianggap mapan secara turun
temurun. Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai agama
yang tertuang dalam karya ulama tedahulu mengenai hal-hal yang esensial serta
mata pelajaran kognitif yang ada pada masa klasik. Sama seperti aliran
sebelumnya namun aliran ini hanya memberikan penjelasan atas pemikiran
pendahulunya dan dianggap menyeleweng jika tidak sesuai dengan pendapat
pendahulunya. Metode yang digunakan adalah ceramah, dialog, perdebatan dengan
tolok ukur pandangan imam madzhab, dan pemberian tugas. Manajemen dan lain
sebagainya sama dengan aliran sebelumnya.[22]
C.Analisis
Tradisionalisme Dalam Pendidikan Dasar Islam Terhadap Ke- IPDI-an.
Penulis sangat setuju , pendidikan
dijadikan sebagai lembaga berfungsi menanamkan dan mewariskan sistim-sistim
norma tingkah laku yang didasarkan pada dasar-dasar filsafat yang dijunjung
oleh lembaga pendidikan dan pendidikan dalam suatu masyarakat. Berbagai aliran
, perenealisme dan esensialisme misalnya, yang telah penulis paparkan di atas
merupakan terapan dari filsafat dalam konteks pemikiran pendidikan Islam
terwakili oleh aliran tradisionalisme.
Sekarang ini Negara kita yang sudah
mengalami krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern, aliran Penerialisme
dan Esensialisme dapat digunakan sebagai
acuan untuk mengatasi kekrisisan budaya di Negara kita, yakni mundur kembali
kepada kebudayaan lama. Sehingga dalam dunia pendidikan yang modern dapat kita
kendalikan dengan ajaran-ajaran yang mengikat norma dan kaidah bangsa yang
sudah banyak dipengaruhi dari kebudayaan luar yang begitu jauh menyimpang dari
norma-norma agama dengan dalih kecanggihan dari media.
Penulis yang setiap harinya berkecimpung
dalam dunia pendidikan, tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), menerapkan aliran
Penerialisme dan Esensialisme dalam pembelajaran , sebagai sumber belajar
sekaligus sebagai pokok dari ajaran Islam yaitu Al-Qur-an da Al-Sunnah. Selain
itu untuk lebih menunjukan bahwa suatu lembaga itu masih menjujung tinggi
nilai-nilai budaya tradisional sebagai pandangan hidup atau patokan norma dan
kaidah dalam bertingkahlaku dalam kehidupan bermasyarakat .
Implikasi
dari pemikiran Tradisionalisme terhadap pendidikan Perenial-Esensialisme Salaf
dan Penerial- Esensialis Madzhabi, yang mana pengembangankurikulumnya
ditekankan pada doktri agama, kitab-kitab besar,menjadikan suatuhal yang
mendasar untuk melatih para siswa membiasakan
diri hidup dengantatatertib. Mematuhi perintah dan menjauhi larangan-larangan
yang telah di tetepkandalam suatu lembaga pendidikan ,dan melaksanakannya dalam
kehidupan bermasyarakat
D.KESIMPULAN
Tradisionalisme dalam pendidikan dasar islam adalah
ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi
sebelumnya sebagai pegangan hidup dalam dunia pendidikan islam.
Aliran pendidikan yang termasuk dalam kategori
pemikiran tradisionalisme adalah (perenialisme dan esensialisme). Dalam
pemikiran filsafat pendidikan Islam disebut
aliran tekstualis salafi, untuk menyederhanakan model ini,
maka dapat kita sebut dengan istilah perenial-esensial salafi, dan tradisionalis
madzhabi atau di sebut perenial-esensial madzhabi.
Keterkaitan antara tradisionalisme
dengan perenealisme dan esensialisme adalah perenialisme menghendaki kembalinya
kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, adapun esensialisme menghendaki pendidikan
yang bersendikan atas nilai nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam
kebudayaan . Jadi keduanya sama-sama mengunakan tradisionalisme masa Nabi
Muhammad yang berusaha untuk memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Implikasi pemikiran
tradisionalisme terhadap pendidikan. Penerial- esensialis salafi lebih
menonjolkan wawasan era salaf (era kenabian dan sahabat ). Sedang pereneal-
esensialis madzhabi lebih menonjolkan wawasan pendidikan islam yang tradisional
dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran , pemahaman atau doktrin
serta pemahaman pemikiran –pemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan.Pendidikan
Islam lebih dijadikan sebagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan nilai,
tradisi, dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar